UU Cipta Kerja Dinilai Jadi Salah Satu Penyebab Tingginya Impor Gula
TEMPO.CO, Jakarta -Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan Indonesia merupakan salah satu negara pengimpor gula terbesar di dunia. Namun, impor gula kerap dilakukan saat kondisi konsumsi dalam negeri sedang rendah sehingga cita swasembada tak kunjung tercapai.
Menurutnya, hal itu terjadi karena komoditas gula memiliki banyak pemburu rente. “Di sisi lain ada lobi-lobi untuk membuat Indonesia menjadi negara yang pro terhadap impor pangan, salah satunya melalui Undang-undang Cipta Kerja,” ucapnya saat dihubungi Tempo pada Sabtu, 29 Oktober 2022.
Undang Cipta Kerja, kata dia, sangat berkaitan dengan permasalahan ini karena posisi impor menjadi setara dengan posisi industri dalam negeri. Sedangkan sebelumnya, impor hanya dilakukan ketika kebutuhan domestik tidak terpenuhi dari hasil produksi dalam negeri.
“Jadi ada skenario untuk mempermudah impor, terutama impor pangan, termasuk gula,” kata Bhima.
Padahal, Bhima menilai Indonesia memiliki potensi perkebunan tebu sebagai bahan baku gula yang cukup besar. Industri gula juga bukan sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Kala itu, sudah banyak pabrik-pabrik industri gula di Tanah Air. Permasalahannya, ada pihak yang menikmati rente dari impor gula. Kemudian pihak-pihak tersebut menginginkan status quo agar Indonesia terus bergantung pada impor.
Imbasnya, perkebunan tebu maupun industri manufaktur pengolahan gula mengalami perlambatan akibat rendahnya suntikan modal. Sedangkan penikmat rente itu, kata dia, tidak perlu menanam tebu dan mengolah gula, mereka menjual produk ke Indonesia kemudian mendapatkan margin keuntungan.
Bhima menilai peremajaan mesin industri gula di Indonesia sudah sangat tertinggal jauh. Banyak ada mesin-mesin gula yang dimuseumkan, karena daya saing industri gula yang sengaja dibiarkan tidak meningkat. Sehingga, tidak mumpuninya pabrik-pabrik itu harus ditutup dengan pengadaan impor.
Alhasil pihak yang tak bertanggung jawab itu sudah terlalu menikmati keuntungan dari impor gula. Maka ia mendesak agar pemerintah segera melakukan perubahan tata niaga dari komoditas gula secara nasional. “Tapi revitalisasi industri juga mendesak,” ucapnya.
Adapun saat ini pemerintah berencana mengimpor gula sebanyak 500 ribu ton di tengah banjir stok dalam negeri. Bhima menilai ada tren atau pola yang menunjukan bahwa impor gula kerap terjadi menjelang Pemilu.
“Ini salah satu jalan untuk mencari rente dan bisa digunakan untuk pembiayaan pemenangan pemilu,” ucapnya.
Kabar rencana impor gula itu sebelumnya diungkapkan oleh Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Soemitro Samadikun. Ia menuturkan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian telah memberi izin rekomendasi impor gula konsumsi sebanyak 500 ribu ton.
Padahal, menurut dia stok gula pada akhir 2021 atau awal tahun 2022 mencapai 1,1 juta ton. Sebelumnya pemerintah sudah mengimpor 980.000 ton raw sugar dan 150.000 ton white sugar. Jika ditambah, maka stok akhir 2021 tersebut, ada total stok gula sebesar 2,2 juta ton.
Bila ditambah lagi dengan produksi nasional sebesar 2,4 juta ton, maka total stok gula nasional secara keseluruhan sebesar 4,6 juta ton. Dengan konsumsi gula nasional per tahun sebesar 3 juta ton, artinya masih ada surplus 1,6 juta ton gula. “Itu perlu menjadi pertanyaan,” kata Bhima.