“Sebagian Besar Pasokan Daging Sapi Indonesia Berasal dari impor…”
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Nisrina Nafisah menilai, penerapan batasan ekspor sapi oleh beberapa negara produsen utama daging sapi dunia, seperti Australia, Brazil, dan Argentina, turut mendongkrak harga daging sapi di Indonesia.
Nisrina mengatakan, pembatasan ekspor dari negara-negara tersebut dilakukan karena adanya penurunan jumlah sapi yang dipotong di Australia untuk upaya repopulasi sapi, ditemukannya wabah penyakit pada beberapa populasi sapi di Brazil, dan pengamanan pasokan domestik di Argentina.
“Sebagian besar pasokan daging sapi Indonesia berasal dari impor. Jadi pembatasan semacam ini tentu berpengaruh karena jumlah kebutuhan biasanya tetap dan malah cenderung meningkat, terutama dalam menghadapi waktu-waktu tertentu,” ujar Nisrina Nafisah kepada Kompas.com, Kamis (3/3/2022).
Nisrina menjelaskan, secara garis besar, permintaan global terhadap produk-produk ternak terus meningkat dalam satu tahun terakhir, bersamaan dengan kembalinya kegiatan konsumsi serta kemampuan belanja dan kepercayaan konsumen meningkat.
Meski begitu, peningkatan permintaan ini tidak diiringi dengan laju produksi yang sama.
Dia membeberkan, berdasarkan data dari Meat & Livestock Australia di tahun 2020, sekitar 70 persen total kebutuhan daging sapi dan sapi bakalan nasional berasal dari impor. Sebagian besar dari impor tersebut datang dari Australia.
Nisrina menyebutkan, kondisi tersebut membuat peningkatan harga daging sapi di pasar internasional dan gangguan pasokan yang terjadi di negara impor utama akan berdampak pada harga daging sapi di Indonesia.
Berdasarkan data Bank Dunia pada 2022, harga daging sapi menyentuh 5,97 dollar AS per kilogram di pasar internasional pada Januari 2022. Angka ini meningkat sebesar 33,85 persen dari bulan Januari 2021.
Harga sapi bakalan untuk dipotong pada Februari 2022 juga turut meningkat 60 persen menjadi 4,2 dollar AS per kilogram dari sebelumnya hanya 2,8 dollar AS per kilogram pada Februari 2021.
Kenaikan harga tersebut terjadi karena beberapa faktor termasuk pasokan daging sapi yang kurang saat permintaan sedang meningkat.
Indonesia sempat mengalami penurunan pasokan sapi bakalan impor di tahun 2020 karena Australia mengalami depopulasi sapi akibat dari kebakaran hutan dan kebanjiran. Hal ini kemudian berdampak pada berkurangnya jumlah sapi dan daging sapi yang diekspor ke Indonesia.
Sementara itu, berdasarkan data BPS, Impor daging sapi Indonesia pada 2020 berjumlah 226,6.000 ton atau berkurang 15 persen dari tahun sebelumnya yang berjumlah 266,5.000 ton.
Pada tahun 2021, jumlah impor daging sapi kembali meningkat sebesar 20 persen dibandingkan tahun sebelumnya atau menjadi 276,8.000 ton.
Namun berdasarkan Indeks Bulanan Rumah Tangga (BuRT) dari CIPS, harga daging sapi sepanjang 2021 tetap tinggi dan kembali mengalami peningkatan pada Februari 2022.
Nisrina menilai untuk membantu mencukupi kebutuhan daging sapi dari impor, pemerintah perlu membenahi sistem impor dan mengupayakan peningkatan harga produksi dan distribusi.
Indonesia juga bisa menambahkan Brazil dan AS sebagai negara pemasok impor daging sapi untuk mengurangi ketergantungan dari Australia.
“Baru sekitar 1 persen dari total impor daging sapi Indonesia, datang dari Brazil dan AS dua negara produsen daging sapi terbesar di dunia, karena ketatnya persyaratan bebas penyakit mulut dan kaki serta sertifikat halal yang diberikan Indonesia untuk memastikan daging sapi yang masuk Indonesia berasal dari sapi yang sehat,” jelas Nisrina.
Nisrina juga menilai, langkah pemerintah yang membuka keran impor daging kerbau dari India sejak tahun 2016 sebagai alternatif dari daging sapi juga berdampak positif bagi kecukupan permintaan daging sapi nasional, dimana sejak saat itu negara tersebut menduduki posisi kedua setelah Australia sebagai importir daging lembu terbesar Indonesia.
Daging kerbau tersebut kemudian menawarkan variasi dengan harga yang kompetitif dan relatif lebih murah dari daging sapi sehingga memikat bagi konsumen dan pedagang.