Pengamat Sebut Ekonomi Indonesia Timur Rapuh
NAGALIGA — Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menyebut pertumbuhan ekonomi di wilayah Timur Indonesia masih belum memiliki dasar yang kuat. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi mereka baru tertopang oleh konsumsi atau belanja pemerintah daerah (Pemda) ketimbang investasi maupun pembangunan infrastruktur.
“Banyak dari APBD. Jadi, memang ekonominya seperti gelembung sabun,” kata Direktur Eksekutif KPPOD Robert Endi Jaweng di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (19/2).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan perekonomian wilayah Timur seperti Maluku, Papua mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan dari hanya sebesar 4,89 persen di 2017 menjadi 6,99 persen di tahun berikutnya.
Kendati demikian, Endi menyebut pertumbuhan tersebut tak berdampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia ataupun masyarakat. Hal tersebut tercermin dari kontribusi sebesar 2 persen yang yang diberikan wilayah Indonesia timur terhadap pertumbuhan perekonomian Indonesia secara keseluruhan pada 2018.
“Uang diminta makin tahun makin banyak, Yang ada itu dibuktikan dulu. Coba sekarang lihat, 30 persen dana transfer itu ke daerah, tapi dampak perbaikan kesejahteraan dan layanan publik di daerah masih tidak merata,” paparnya.Menurutnya, kontribusi tersebut terbilang rendah. Menurut analisisnya, hal tersebut terjadi akibat kegagalan pemda dalam membangun infrastruktur dan investasi.
“Memang tampak tumbuh, tapi itu fondasi enggak kuat, karena lebih banyak kontribusi perdagangan, konsumsi. Apalagi konsumsi itu dari belanja pemerintah, bukan dari sumber yang sifatnya produktif dari investasi dan sebagainya,” jelasnya.
Akibat kegagalan tersebut, ia menyebut Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di daerah Timur masih berada di tingkat terendah dari tahun ke tahun ketimbang Jawa-Bali. Padahal, lanjut lanjutnya, pemerintah daerah selalu meminta peningkatan alokasi dana pembangunan daerah ataupun Dana Desa dari waktu ke waktu.
Menurutnya, pemerintah daerah perlu membuktikan kinerja terlebih dahulu sebelum meminta kenaikan tersebut. Pembuktian kinerja harus dilakukan dengan meningkatkan taraf hidup masyarakat daerahnya.
Ia menyatakan penyebab utama masalah tersebut adalah manajemen fiskal daerah yang belum optimal. Ia menyebut banyak anggaran yang diserap hanya untuk kebutuhan birokrasi ketimbang pembangunan infrastruktur dan investasi bagi masyarakat.
“Lebih banyak untuk ongkos, belanja birokrasi 60 persen, kemudian mandatory spending juga besar patokannya. Lantas, kemudian masyarakatnya gimana?,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Robert merekomendasikan pemerintah untuk mempertegas dan memperketat pengawasan penyerapan dana di daerah, terutama wilayah Timur.
Menurutnya, pemerintah perlu menetapkan alokasi penambahan dana daerah berdasarkan variabel, dan juga kinerja pemerintah daerah yang telah dilakukan secara real, bukan hanya berdasarkan pelaporan.
“Harus benar ditegakkan disiplin transfer berbasis kinerja. Enggak bisa kemudian dengan kinerja biasa saja, yang kemudian membuat pemda merasa tidak akuntabel tetapi terus menerus meminta dana yang meningkat,” pungkasnya.
Sebelumnya, diketahui provinsi dengan poin IPM terendah masih didominasi wilayah Timur Indonesia pada Januari 2020, yaitu Papua sebesar 60,84, Diikuti Provinsi Papua Barat 64,70, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) 65,23, Provinsi Sulawesi Barat 65,73, dan Provinsi Kalimantan Barat 67,65.