Menanti Dampak Implementasi Permen PLTS Atap Terhadap Bauran EBT RI
Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 26 Tahun 2021 Tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap yang mengatur pemanfaatan PLTS atap di Indonesia akhirnya dapat diimplementasikan setelah pemerintah sempat menahan aturan ini.
Peraturan ini merupakan perbaikan ketiga dari Permen ESDM No. 49/2018, dan meski telah diundangkan sejak 20 Agustus 2021, namun implementasinya sempat mengalami penundaan. Ketua Umum METI, Surya Darma mengapresiasi dijalankannya permen PLTS atap.
“Kami berharap dengan implementasi Permen ini, akan terwujud upaya memenuhi target 3,6 gigawatt (GW) PLTS untuk memenuhi porsi energi terbarukan dalam bauran energi nasional,” kata Surya kepada Katadata.co.id, Senin (24/1).
Selain itu, ia juga berharap Permen PLTS Atap ini dapat memenuhi upaya Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap (GNSSA) yang dicanangkan METI bersama Asosiasi Energi Terbarukan pada kegiatan Indo EBTKE Conex Tahun 2017. Khususnya dalam rangka memperoleh pemasangan PLTS Atap sebesar 1 GW per tahun.
Mengingat, sejak terbitnya Permen ESDM No.49/2018, setidaknya hanya 35 MW PLTS Atap saja yang terpasang. Capaian tersebut sangat jauh dari target GNSSA. Apalagi pemerintah mencanangkan program transisi energi untuk menuju Net Zero Emission (NZE) pada 2050, sehingga energi surya menjadi salah satu andalan.
“Potensi energi surya di Indonesia sesungguhnya cukup besar, lebih dari cukup untuk memenuhi target NZE,” kata dia. Simak databoks berikut:
Menurut catatan Ditjen EBTKE Kementerian ESDM, potensi energi surya di Indonesia mencapai 207 GW. Sedangkan menurut perhitungan METI, besaran potensinya mencapai 2.000 GW, sedangkan perhitungan dari IESR mencapai 19.800 gigawatt-peak (GWp).
Menurut Surya Permen ESDM No.26 Tahun 2021 ini akan memegang peranan penting untuk mendukung pencapaian target 23% bauran energi terbarukan di 2025. Karena itu, PLTS atap diperkirakan dapat mengakselerasi penambahan pembangkit energi terbarukan dalam bauran energi nasional.
“PLTS atap tidak membutuhkan investasi PLN atau Pemerintah karena menjadi tanggung jawab para konsumen yang sekaligus bertindak sebagai investor. Hadirnya Permen ini penting sebagai peran serta masyarakat untuk menurunkan emisi karbon dalam rangka memenuhi target NDC sebagai komitmen Perjanjian Paris,” katanya.
Surya optimistis perubahan ini akan berdampak pada tingkat pengembalian investasi konsumen sehingga meningkatkan keekonomian PLTS atap.
Selain itu, kendala terkait proses pengajuan dan perizinan yang hendak ditangani dengan peraturan baru ini juga diharapkan mampu meningkatkan daya tarik PLTS atap karena calon pengguna mendapatkan kepastian.
“Masyarakat sudah lama menanti revisi Permen No.48/2018 dan setelah terbit revisinya pada tahun 2021 juga masih harus menunggu pelaksanaannya,” ujarnya.
Untuk memantau pelaksanaan regulasi ini, METI berharap Kementerian ESDM segera membentuk Pusat Pengaduan PLTS Atap sebagaimana yang diatur pada pasal 26. Di samping itu, semua stakeholder sebaiknya dilibatkan dalam pemantauan pelaksanaannya.
Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Fabby Tumiwa menilai perbaikan regulasi ini penting untuk memaksimalkan pemanfaatan energi surya di Indonesia. PLTS atap merupakan salah satu kontribusi nyata masyarakat untuk target dekarbonisasi Indonesia yang dapat dilakukan secara cepat di seluruh wilayah Indonesia, serta tidak menggunakan anggaran pemerintah.
“PLTS atap sangat sesuai dengan kebutuhan untuk mengakselerasi penambahan pembangkit energi terbarukan di luar RUPTL PLN hingga 2025. Selain itu PLTS atap merefleksikan gotong royong masyarakat memanfaatkan energi terbarukan tanpa membebani keuangan negara,” kata dia.
Di samping itu, instalasi kumulatif 1 GWp PLTS atap dapat menyerap tenaga kerja 20.000 hingga 30.000 orang per tahun dan mampu menciptakan permintaan untuk pengembangan industri surya dalam negeri.
Kemudian, dengan instalasi sebesar itu juga dapat menurunkan emisi GRK hingga 1,05 juta ton per tahun. Sementara, setiap tambahan PLTS Atap dengan kapasitas 9 MW, dapat menciptakan dampak ekonomi senilai US$ 17,9 juta.
Permen ESDM No.26/2021 di antaranya memuat ketentuan ekspor-impor 1:1 ke dan dari jaringan PLN (sebelumnya 0,65:1) dan jangka waktu reset kelebihan ekspor listrik yang diperpanjang dari tiga bulan menjadi enam bulan.
Perubahan ini akan mempercepat waktu pengembalian investasi pelanggan sehingga meningkatkan keekonomian PLTS atap. Kendala terkait proses pengajuan dan perizinan yang hendak ditangani dengan peraturan baru ini juga diharapkan mampu meningkatkan daya tarik PLTS atap karena calon pengguna mendapatkan kepastian.
Menurut Fabby, perbaikan regulasi ini menjawab aspirasi masyarakat yang telah menunggu pelaksanaannya sejak 2021. Keekonomian masih menjadi salah satu faktor penentu bagi calon pengguna PLTS atap, di samping motivasi lainnya seperti kontribusi pelestarian lingkungan dan persepsi bahwa PLTS atap merupakan teknologi yang keren.
Temuan ini didapatkan dari survei pasar yang dilakukan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) di Jabodetabek, Surabaya, Bali, dan Jawa Tengah. Di mana mayoritas responden khususnya rumah tangga menginginkan periode balik modal investasi di bawah 7 tahun, dominan di 3-5 tahun.
Dengan menjadikan tarif ekspor listrik setara tarif impor (1:1), periode balik modal dapat diperpendek 1-2 tahun dari yang sekarang di atas 10 tahun.
Fabby mengatakan perbaikan regulasi yang meningkatkan keekonomian terbukti menjadi pendorong utama naik pesatnya instalasi PLTS atap di sektor industri dalam 3 tahun terakhir, yang meningkat hingga 35 MW dari sekitar 6 MW di 2018, menurut data IESR. Kenaikan ini adalah dampak dari revisi Permen ESDM untuk penurunan biaya paralel kapasitas dari 40 jam per bulan menjadi 5 jam per bulan.
Sebelumnya, Direktur Jenderal EBTKE, Dadan Kusdiana mengatakan Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021 tentang PLTS Atap ini dapat dilaksanakan dan telah didukung oleh seluruh stakeholder. “Sesuai hasil rapat koordinasi yang dipimpin oleh Bapak Menteri Koordinator Bidang Perekonomian pada 18 Januari 2022,” kata dia Jumat (21/01).
Menurut Dadan pada rapat tersebut telah disepakati beberapa hal yang menjadi perhatian dalam implementasi Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021, yang berdampak nasional diantaranya potensi kenaikan Biaya Pokok Pembangkitan (BPP), subsidi dan kompensasi, potensi kehilangan penjualan PT PLN serta potensi pendapatan dari capacity charge.
Dampak APBN yang berkaitan dengan potensi peningkatan subsidi dan kompensasi dipengaruhi oleh pertumbuhan permintaan listrik. Semakin besar permintaan listrik maka dampak terhadap subsidi dan kompensasi semakin kecil. Hal ini menjadi penting agar program pemerintah berkenaan creating demand listrik untuk dapat dipercepat.
Berdasarkan proyeksi Kementerian ESDM, target PLTS Atap sebesar 3,6 gigawatt (GW) akan dilakukan secara bertahap hingga 2025. Dengan proyeksi ini, ada sejumlah dampak positif, di antaranya:
1. Berpotensi menyerap 121.500 orang tenaga kerja;
2. Berpotensi meningkatkan investasi sebesar Rp 45-63,7 triliun untuk pembangunan fisik PLTS dan Rp 2,04-4,1 triliun untuk pengadaan kWh Exim;
3. Mendorong tumbuhnya industri pendukung PLTS di dalam negeri dan meningkatkan daya saing dengan semakin tingginya Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN);
4. Mendorong green product sektor jasa dan green industry untuk menghindari penerapan carbon border tax di tingkat global;
5. Menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 4,58 Juta Ton CO2e;
6. Berpotensi mendapatkan penerimaan dari penjualan Nilai Ekonomi Karbon sebesar Rp 0,06 triliun/tahun (asumsi harga karbon US$2/ton CO2e).
Adapun substansi pokok dari Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021 yaitu:
1. Ketentuan ekspor kWh listrik ditingkatkan dari 65% menjadi 100%;
2. Kelebihan akumulasi selisih tagihan dinihilkan, diperpanjang dari 3 bulan menjadi 6 bulan;
3. Jangka waktu permohonan PLTS Atap menjadi lebih singkat (5 hari tanpa penyesuaian Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) dan 12 hari dengan adanya penyesuaian PJBL);
4. Mekanisme pelayanan berbasis aplikasi untuk kemudahan penyampaian permohonan, pelaporan, dan pengawasan program PLTS Atap;
5. Dibukanya peluang perdagangan karbon dari PLTS Atap; 6. Tersedianya Pusat Pengaduan PLTS Atap untuk menerima pengaduan dari pelanggan PLTS Atap atau Pemegang IUPTLU; dan
7. Perluasan pengaturan tidak hanya untuk pelanggan PLN saja tetapi juga termasuk pelanggan di Wilayah Usaha non-PLN (Pemegang IUPTLU).
Proses pelayanan sistem PLTS Atap selama masa transisi masih dilakukan secara manual, belum berbasis aplikasi.