Kekahwatiran Inflasi buat Pasar Obligasi Indonesia Lesu
JAKARTA. Pasar obligasi Indonesia belakangan berada dalam kondisi yang kurang bergairah. Jumlah penawaran yang masuk pada setiap lelang surat utang negara (SUN) maupun surat berharga syariah negara (SBSN) cenderung turun tiap pekan. Lalu, yield surat berharga negara (SBN) acuan 10 tahun saat ini berada di kisaran 6,7%, padahal di awal tahun masih berada di 6,4%.
Head of Fixed Income Trimegah Asset Management Darma Yudha mengatakan, saat ini pelaku pasar memang cenderung dalam posisi menjauhi obligasi negara. Menurutnya, dengan potensi kenaikan inflasi yang ada saat ini imbas naiknya harga komoditas, membuat posisi investor lebih hati-hati.
Ia bilang investor asing kini terbagi menjadi dua kubu. Sebagian investor memilih menyimpan dananya di US Treasury dengan tenor pendek akibat situasi saat ini sembari mengamati perkembangan ke depan. Sedangkan sebagian investor memilih mengalihkan dananya ke pasar saham Indonesia yang dinilai memberikan imbal hasil yang lebih optimal.
“Sementara di Indonesia sendiri, inflasinya kini juga menjadi perhatian setelah kenaikan harga beberapa komoditas yang memicu kenaikan harga bahan pokok. Alhasil manajer investasi, asuransi, hingga perbankan memilih seri-seri pendek terlebih dahulu,” jelas Yudha kepada Kontan.co.id, Rabu (23/3).
Selain itu, menurutnya, para kelompok investor tersebut juga cenderung memilih obligasi korporasi yang punya potensi return lebih menarik dibanding obligasi negara untuk tahun ini.
Ke depan, Yudha menyebut, perkembangan inflasi akan jadi perhatian pelaku pasar untuk menilai prospek pasar obligasi Indonesia. Terlebih lagi, sebentar lagi memasuki periode puasa dan lebaran yang bisa mendorong lonjakan inflasi.
Namun, selama inflasi bisa terjaga, menurutnya, pada paruh kedua tahun ini outlook obligasi negara bisa jauh lebih baik.
Di sisi lain, posisi kelompok investor perbankan juga punya peranan penting terhadap obligasi negara. Jika kredit mulai tumbuh seiring pemulihan ekonomi yang semakin membaik, ada potensi kelompok perbankan mulai menjual obligasi negara.
Sehingga hal tersebut bisa saja menjadi katalis negatif dan membuat yield obligasi negara terkoreksi ke depannya. Walau begitu, dia meyakini, kelompok perbankan akan keluar secara perlahan dan gradual.
“Ketika kelompok perbankan keluar, semoga investor asing sudah mulai masuk kembali agar yield SBN bisa tetap stabil. Indonesia secara fundamental sejauh ini sudah solid, jadi ketika investor asing masuk ke emerging market, SBN akan jadi pilihan,” imbuh Yudha.
Yudha menambahkan, faktor lain yang bisa jadi pendorong investor asing masuk ke SBN adalah berakhirnya program burden sharing. Hari ini, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengumumkan bahwa kebijakan burden sharing akan berakhir pada tahun ini dan tidak diperpanjang pada tahun depan.
Selama ini menurut Yudha investor asing cenderung kurang menyukai kebijakan burden sharing karena yang semula hanya di 2020, tapi nyatanya diperpanjang hingga 2022.
Oleh karena itu, kejelasan bahwa burden sharing akan berakhir bisa berdampak positif ke pasar SBN. Pasalnya, mekanisme pasar akan kembali jalan, dan sudah ada kepastian tidak akan dilanjutkan di tahun depan.
“BI juga pasti sudah penuh pertimbangan sebelumnya, jadi seharusnya hilangnya BI sebagai standby buyer tidak akan berdampak besar. Jika mekanisme pasar kembali normal dan investor asing bisa kembali masuk, maka ini menjadi hal yang positif,” jelasnya.
Secara jangka pendek, Yudha memproyeksikan yield SBN akan bergerak flat cenderung melemah. Namun, untuk hingga akhir tahun nanti, dengan pertimbangan konflik Rusia-Ukraina mereda, dan inflasi Indonesia bisa stabil, yield SBN akan mengalami perbaikan dibandingkan posisi saat ini.