DPR Cecar Bos Pertamina Soal Kelangkaan Solar: Tanpa Mudik Saja SPBU Sudah Antre
Jakarta – Sejumlah politikus di Komisi VI DPR mencecar Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati soal kelangkaan bahan bakar minyak atau BBM jenis solar. Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Andre Rosiade, mempertanyakan stok solar yang langka di berbagai daerah seiring dengan meningkatnya harga acuan minyak dunia.
Andre khawatir kelangkaan ini akan mengganggu distribusi BBM menjelang Ramadan. “Sudah dua tahun masyarakat tidak mudik dan sekarang akan mudik besar-besaran. Tanpa mudik saja sekarang SPBU antre, apalagi ada mudik,” ujar Andre dalam rapat dengar pendapat, Senin, 28 Maret 2022.
Oleh karena itu ia meminta Pertamina berkoordinasi dengan Badan Pengatur Badan Pengatur Hilir Minyak Bumi dan Gas Bumi (BPH Migas) untuk mengatur kembali pasokan solar bersubsidi tahun ini.
Musababnya, berdasarkan data Pertamina, kuota BBM solar bersubsidi pada 2022 turun 5 persen ketimbang 2021—padahal kegiatan industri telah mulai pulih pasca-pandemi Covid-19.
Selain itu, Pertamina disarankan bekerja sama dengan kepolisian mengendus kebocoran-kebocoran distribusi solar yang tidak sesuai dengan sasarannya. “Kalau bisa truk-truk yang enam roda diusir (dari antrean solar subsidi. Kemudian mobil di atas 500 juta jangan konsumsi BBM subsidi,” ujar Andre.
Adapun Ketua Komisi VI DPR Faisol Riza mengatakan masalah kelangkaan solar sudah diperingatkan oleh legislator sejak awal. “Ada kemungkinan setelah kelangkaan minyak goreng, yang akan menjadi komoditas politik adalah solar. Pertamina diminta melakukan monitoring agar hal ini bisa tidak terjadi,” kata Faisol.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati membeberkan penyebab solar langka. Nicke mengatakan permintaan terhadap pasokan BBM melonjak. Berdasarkan data perusahaan, penyaluran solar bersubsidi untuk sektor retail hingga Februari 2022 mencapai 2,49 juta kiloliter atau over kuota sebanyak 10 persen.
Sementara itu, kuota retail yang ditetapkan sesuai Surat Keputusan BPH Migas Nomor 102/P3PJBT/BPH Migas/KOM/2021 hanya sebesar 2,27 juta. Peningkatan permintaan terjadi akibat pulihnya aktivitas industri setelah pandemi Covid-19 reda.
“Pertumbuhan ekonomi naik 5 persen, dampak terhadap mobilitas dan aktivitas usaha terjadi. Angkutan logistik full capacity,” tutur Nicke. Nicke memprediksi peningkatan kebutuhan terhadap solar masih akan terus terjadi sampai akhir tahun. Total peningkatannya bahkan mencapai 16 persen.
Tak hanya itu, masalah kelangkaan didorong oleh disparitas harga yang semakin lebar antara solar bersubsidi dan non-subsidi karena naiknya harga acuan minyak dunia. Selisih itu mencapai Rp 7.800.
Adanya gap harga membuat penjualan solar bersubsidi diduga bocor ke industri besar. Nicke mengendus solar subsidi dinikmati oleh industri tambang sampai kelapa sawit.
“Kami duga seperti itu karena penjualan non-subsidi turun, padahal industri naik,” kata dia. Dia mengatakan pemerintah perlu membuat beleid yang mengatur secara rinci konsumen BBM solar bersubsidi.