Ahli: UU KPK Cacat Karena Kursi Kosong di Rapat Paripurna DPR
NAGALIGA — Dua ahli yang dihadirkan dalam sidang uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) cacat karena minim partisipasi masyarakat dan masalah absensi anggota DPR pengesahan perundangan itu.
Ahli Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin menilai UU KPK cacat formil karena masyarakat tak dilibatkan dalam sejak dalam proses penyusunan UU KPK.
Padahal, kata dia, partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan kebijakan sudah diatur dan diamanatkan pada pasal 1 Undang-undang Dasar 1945.
“Saya melihat pelanggaran ini tidak sepele, karena betul-betul nyata. Misalnya soal partisipasi. Saya mengatakan partisipasi menjadi wajib, itu bukan sekadar people, tetapi secara lebih luas,” kata dia, di gedung MK, Jakarta, Rabu (19/2).
Tak hanya itu, Zainal juga menyoroti proses pengambilan keputusan UU KPK oleh anggota DPR di Rapat Paripurna pada 17 September 2019 yang tak memenuhi syarat minimal jumlah anggota yang hadir atau kuorum.
Berdasarkan data CNNIndonesia.com, pimpinan Rapat Paripurna DPR saat itu, Fahri Hamzah, menyatakan ada 289 dari 560 anggota yang menandatangani absensi.
Sementara, secara fisik yang hadir di ruang sidang sampai pukul 11.45 WIB hanya mencapai 91 orang alias kurang dari separuhnya.
Menurut Tata Tertib DPR, setiap rapat pengambilan keputusan di Dewan harus dihadiri oleh lebih dari separuh jumlah anggota rapat (kuorum). Jika syarat tidak tercapai, rapat ditunda maksimal 2 kali dengan tenggang waktu masing-masing tidak lebih dari 24 jam.
“Dan saya ingat betul putusan MK lebih detail dengan mengatakan bahwa pelanggaran kuorum itu pelanggaran nyata terhadap proses formil,” lanjut Zainal.
Senada, ahli hukum Tata Negara dari STH Jentera Bivitri Susanti, yang juga dihadirkan sebagai ahli, menyatakan bahwa kehadiran anggota DPR secara fisik dalam ruang rapat sangat dibutuhkan sebagai mandat mewakili konstituennya di daerah.
“Mereka punya hak berbicara yang memerlukan kehadiran fisik mereka di ruang parlemen bahkan kalau kita lacak kata Parlemen itu sendiri asal katanya Parley artinya to speak untuk berbicara, bukan untuk menandatangani daftar hadir,” cetusnya.
Diketahui, sebanyak 13 pemohon telah mengajukan melakukan pengujian secara formil UU No. 19 Tahun 2019 tentang KPK yang sudah disahkan DPR tahun lalu. Beberapa pemohon diantaranya mantan pimpinan KPK Laode M Syarief, menilai pembentukan UU tersebut cacat formil.
Menurut Laode, proses pembahasan UU KPK dilakukan secara terburu-buru oleh DPR. Indikasinya, KPK tak bisa melihat Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) draf RUU hingga aturan itu disahkan.
Tak hanya itu, Laode menyatakan kekeliruan lainnya adalah proses perundangan tak melewati tahap penyusunan naskah akademis dan tidak masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas).
Catatan-catatan tersebut dinilai sebagai bentuk pelanggaran terhadap UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Pembentukan Perundang-undangan.
Anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan, yang mewakili Dewan dalam sidang uji materi UU KPK di MK, 3 Februari, mengklaim sudah mengakomodasi partisipasi masyarakat, termasuk KPK, dalam proses pembahasannya.