Penyelenggaraan 5G Jadi Solusi Tingginya Trafik Internet
JAKARTA – Berbagai studi menyatakan bahwa peluang ekonomi digital Indonesia masih terbuka lebar. Hal ini didukung oleh sejumlah faktor, seperti total penduduk yang terbesar ke-4 di dunia. Jumlah penduduk usia produktif mencapai lebih dari 191 juta atau 70,7 persen, ditopang oleh Generasi Z sebanyak 75,49 juta orang, atau 27,94 persen dan Generasi Y/Milenial yang mencapai 69,90 juta jiwa atau 25,87 persen.
Dari sisi digital user, jumlah pengguna ponsel Indonesia saat ini mencapai 345,3 juta (125,6 persen dari total populasi). Dengan penetrasi internet sebesar 73,7 persen dan trafik internet yang mengalami peningkatan 15-20 persen di sepanjang 2020. Bahkan saat ini, telah muncul gelombang teknologi baru seperti jaringan 5G, IoT, blockchain, artificial intelligence dan cloud computing.
Penyelenggaraan jaringan 5G tentunya akan menjadi sebuah solusi di masa depan. Karena, jika tidak ada jaringan 5G akan ada kekhawatiran yang muncul terhadap layanan yang diberikan kepada pelanggan. Di mana saat ini teknologi digital sudah menjadi sendi-sendi yang menggerakan kegiatan masyarakat.
Meski sangat dibutuhkan, kehadiran 5G ini jangan hanya sekadar ada. Tetapi harus menghadirkan layanan 5G yang optimal. Kesiapan spektrum frekuensi untuk 5G harus dipersiapkan.
Selain spektrum, yakni lebar pita. Lebar pita maksudnya adalah jaringan penghubung antara menara-menara BTS dengan central-central di mana internet akan terhubung dan ini harus diperluas dengan menggunakan jaringan fiber optic.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi seluruh Indonesia (ATSI) Marwan O Baasir mengungkapkan bahwa ketersediaan fiber optic hingga saat ini masih terbatas dan belum merata, karena kebanyakan terkonsentrasi di area perkotaan.
“Untuk itu, peran Kementerian Kominfo harus dioptimalkan untuk membantu para operator yang tergabung dalam asosiasi, agar pemerintah daerah bisa merelaksasi atuan-aturannya sehingga proses penggelaran fiber optic dapat berjalan dengan mudah sehingga bisa mendukung pengembangan 5G di Tanah Air,” kata Marwan.
Selain itu, Marwan menuturkan, 5G yang ideal ada di frekuensi 3,5 giga herzt (GHz). Saat ini operator menggunakan frekuensi yang ada, jadi ada yang menggunakan 2,3 GHz, 2,1 GHz dan sebagainya. Hal ini masih memungkinkan dengan adanya dynamic spektrum sharing.
“Tetap 5G, hanya menggunakan spektrum yang ada, jadi memang bandwith saat ini masih terbatas. Jadi, harapan kita 3,5 GHz bisa cepat,” ujar Marwan.
Kedua, aspek ekosistem seperti SDM, kebijakan, peraturan, dan lainnya. Sehingga operator bisa menjalankan panduan masing-masing yang harus inline dengan roadmap pemerintah.
“Jangan lagi operator memahami semua BTS dibangun sendiri-sendiri. Kita sedang mendorong konsep sharing. Di Undang-Undang Cipta Kerja, kita sudah masukkan aturan-aturan untuk sharing. Karena 5G ini kalau bangun sendiri sangat costly. Untuk backbone, backhole dan spektrum juga di-sharing. Aturan tentang sharing ini sudah diselesaikan mulai dari UU sampai Peraturan Menteri,” kata Ismail.
Apakah 5G akan benar-benar menutup kesenjangan digital mengingat kantong-kantong jaringan 5G pertama kali terbentuk di kota besar, Marwan O Baasir menerangkan bahwa pada masa implementasi awal tentu saja ekosistem 5G akan pertama kali terbentuk di kota-kota besar. Di mana infrastruktur jaringan telekomunikasi yang tersedia juga sudah lebih siap.
Akan tetapi, seiring dengan perkembangan demand masyarakat sebagaimana halnya teknologi 4G saat ini, jaringan 5G akan berkembang lebih luas lagi.
“Teknologi 5G merupakan salah satu penggerak solusi digital yang dapat memberikan manfaat terhadap kebutuhan masyarakat dan industri di era saat ini. Salah satu hal yang perlu menjadi perhatian kita adalah faktor-faktor pendukung dalam proses adopsi teknologinya,” ujar Marwan.
Selain itu, lanjut Marwan, teknologi 5G tentunya berperan sangat besar dalam mendukung dan meningkatkan posisi Indonesia menjadi salah satu negara penggerak ekonomi global.
Pada tahapan ini penting untuk melihat kesiapan masyarakat dan industri dalam proses adopsi nantinya. Seperti apa kesiapan infrastruktur di daerah tersebut, bagaimana pola konsumsi masyarakatnya, hingga industri apa saja yang sudah siap mengadopsi tekonologi ini menjadi beberapa pertimbangan dalam menghadirkan layanan 5G.
Kemudian, hadirnya 5G juga membuka jalan dan peluang-peluang baru dan tidak terbatas pada pengguna mobile tapi juga corporate dan vertical industry. Dengan kelebihan-kelebihan yang ditawarkan oleh 5G, diantaranya data rate yang lebih cepat, latensi yang lebih baik, dan massive connectivity, banyak use case yang belum mungkin dijalankan di teknologi sebelumnya menjadi mungkin dilakukan dengan 5G, seperti smart city, smart agriculture, smart hospital, dan sebaginya.Hanya saja untuk dapat memanfaatkan jaringan 5G secara maksimal seperti yang ditawarkan oleh teknologi 5G dibutuhkan ekosistem pendukung untuk pengembangan 5G itu sendiri, seperti infrastruktur jaringan, spektrum khusus 5G, use case dan device pendukung.
“Kesiapan ekosistem ini menjadi PR bersama baik untuk operator, Kemenkominfo sebagai regulator, pemerintahan daerah sebagai penyedia prasarana dan perizinan, penyedia device, dan juga institusi/industri untuk pengembangan use case. Selama kolaborasi antar seluruh pihak dalam penyedian ekosistem 5G berjalan dengan baik maka tantangan-tantangan yang dihadapi untuk penyediaan jaringan, khususnya 5G ke daerah pelosok dapat teratasi dan membantu menutup kesenjangan digital yang ada,” tutur Marwan.