Akui Perang Tarif Internet, Asosiasi Ingatkan Era CDMA Menelepon Rp1
Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) menyebut adu tarif operator seluler saat ini masih mendingan ketimbang era CDMA.
“Sekarang lebih baik dibandingkan dulu 2010-an di jaman GSM vs CDMA. Tarifnya itu dulu Rp1 dan itu berat kalau perang tarifnya kayak gitu lagi,” ujar Rudi Purwanto, perwakilan ATSI di sela-sela acara Selular Business Forum, Senin (2/10).
GSM dan CDMA sendiri terkait dengan opsi jaringan komunikasi mobile. GSM (Global System for Mobile) memakai metode pengiriman data berupa Time Division Multiple Access (TDMA) alias pembagian jalur berdasarkan waktu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jenis jaringan ini lazim digunakan provider-provider besar saat ini.
Sementara, CDMA, kepanjangan dari Code Division Multiple Access, merupakan jalur pengiriman data dengan bentuk kode yang unik untuk tiap user.
CDMA pernah ngehits di era 2008 hingga 2015 lewat fitur panggilan telepon seluler dengan tarif amat murah. Para pemainnya antara lain Bakrie Telecom, Telkom Flexi, StarOne, dan Mobile-8 Telecom (Smartfren).
Jaringan ini perlahan mati buntut perang tarif gila-gilaan, contohnya telepon Esia Rp1 per detik, dan peralihan teknologi.
Rudi melanjutkan saat ini kompetisi masih tinggi namun dengan kondisi yang lebih baik.
“Contoh tadi saya sebutkan [harga paket internet] 1 GB itu Rp6.000. Itu jauh lebih kecil dari negara-negara lain yang Rp20 ribu atau bahkan Rp32 ribu,” tutur Rudi.
“Kami bareng-bareng sebetulnya mau ngobrol sama pemerintah, gimana kami sebenarnya bisa merestrukturisasi tarif sehingga baik untuk industri tapi diikuti dengan kualitas yang otomatis harus lebih baik semuanya,” imbuhnya.
Pihaknya masih mengevaluasi harga data yang paling tepat untuk dikenakan karena banyak variabel yang harus diperhitungkan.
Sebelumnya, Director & Chief Regulatory Officer Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) M. Danny Buldansyah mengeluhkan ‘perang tarif’ yang terjadi di industri telekomunikasi seluler. Menurut dia, rendahnya tarif dapat menghambat investasi perusahaan.
“Ini sudah emergency, karena begitu mencerminkan bahwa operatornya itu enggak bisa investasi untuk meningkatkan kualitas,” katanya, di kantornya, Jakarta, Jumat (25/8).
“Ketika terjadi price war (perang tarif), harga itu adu turun terus. Karena misalnya operator A ‘saya enggak mau kehilangan market share’,” lanjut dia.