Sikapi Survei PPIM UIN, DPR: Perlu Mekanisme Evaluasi Pendidikan Agama
JAKARTA – Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta bersama dengan Convey Indonesia mengadakan diskusi berjudul Suara dari Senayan: Pandangan Wakil Rakyat tentang Peran Negara dalam Pendidikan Agama di Hotel Atlet Century Park, Jakarta, Rabu (5/2/2020).
Acara dibuka oleh Ismatu Ropi selaku Direktur Eksekutif PPIM UIN Jakarta, dan hasil survey dipresentasikan oleh Yunita Faela Nisa dan Sirojuddin Arif selaku peneliti. Bertindak selaku pembahas adalah Hetifah Sjaifudian dan anggota DPR fraksi Partai Golkar Ace Hasan Syadzily, anggota DPR fraksi PKB Maman Imanulhaq, Direktur Eksekutif Indikator Politik Burhanudin Muhtadi, Dewan Penasehat PPIM UIN Jakarta Jamhari Makruf, dan Cornelia Istiani dari Ikatan Sarjana Katolik.
Dalam survey tersebut, responden yang menjawab sebesar 370 orang atau 65,6% dari seluruh anggota DPR. Salah satu temuan dari survey tersebut adalah, tidak banyak anggota DPR yang memiliki perhatian besar terhadap persoalan-persoalan terkait wawasan kebangsaan dan keragaman dalam pendidikan agama.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian mengatakan, di kurikulum 2013 pendidikan agama wajib ada dengan nomenklatur pendidikan agama dan budi pekerti. Tinggal bagaimana standar dan pola pengajarannya di tiap sekolah. “Sekarang tinggal standar pengajarannya itu bagaimana, karena kita tidak tahu pasti apa yang disampaikan guru itu dalam beberapa jam pelajaran tersebut dan bagaimana penyampaiannya,” kata Hetifah.
Hetifah menilai, kerap kali terjadi kebingungan pada anak akibat perbedaan antara nilai-nilai agama yang diajarkan sekolah dan yang dianut orang tua. Untuk itu, dia menyarankan perlu adanya sistem evaluasi dari pembelajaran agama itu. “Harus ada mekanisme evaluasi yang mengukur keberhasilan pengajaran agama itu seperti apa? Semoga hal ini bisa diakomodasi dalam survey pendidikan nasional yang akan dilaksanakan Mas Nadiem,” usulnya.
Dalam hasil survei tersebut juga disebutkan bahwa pandangan wakil rakyat tentang peran negara dalam pendidikan agama dipengaruhi oleh identitas partai politik. Hetifah mengatakan, kadang hal tersebut terjadi sebaliknya.“Bisa jadi pengalaman individual memengaruhi pendapatnya sebagai anggota dewan,” kata politikus Golkar itu.
Menurut Hetifah, tekanan elektoral juga memengaruhi sikap anggota dewan terhadap isu-isu terkait. “Tergantung kita ini mewakili siapa? Sebagaimana masyarakat yang diwakili, seperti itu jugalah anggota dewannya,” jelasnya.
Lebih lanjut, Hetifah menyarankan agar arah pendidikan agama harus diperjelas dalam grand design pendidikan nasional.“Anggaran fungsi pendidikan kita terpisah-pisah di 18 Kementerian/Lembaga. Tapi belum ada grand design yang mau dicapai bersama itu apa, semuanya memiliki renstra masing-masing. Ke depannya, saya harap kita bisa belajar best practice pendidikan agama dan mencontoh pedagoginya seperti apa,” tutupnya.