RPJMN Dinilai Tak Efektif, Pengamat Sarankan Kembali ke Program Pelita dan Repelita
JAKARTA – Direktur Political and Public Policy Studies, Jerry Massie menilai, program Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang saat ini dilakukan pemerintah masih kurang efektif. Untuk itu, dirinya menyarankan kembali ke program era Orde Baru yakni Pelita (Pembangunan Lima Tahun) dan Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun).
“Kita tidak boleh lupa, program ini sejak tahun 1969 berjalan sukses lho. Bayangkan saja, inflasi kita pada tahun 1967 sekitar 600 persen dan turun sampai 10 persen pada 1969-1970,” katanya kepada Wartawan di Jakarta, Kamis (09/09/2021).
Saat itu, kata Jerry, grand strategy and grand design digagas begawan ekonomi Widjojo Nitisastro dan juga mantan Menteri Keuangan 3 periode Ali Wardhana. Ada juga tim ekonomi era Soeharto yang berhasil menghantar ekonomi Indonesia menjadi yang terbaik di Asia. Ada nama-nama beken Radius Prawiro, JB Sumarlin sampai Ma’rie Muhammad.
“Memang orang-orang yang duduk di kabinet saat itu, benar-benar orang yang ahli, menguasai bidang dan bahkan menguasai masalah. Bahkan secara empiris mereka adalah orang yang mumpuni. Misalkan ayahanda Prabowo Subianto dua kali masuk kabinet yakni zaman Soekarno dan Soeharto. Beliau pun dibujuk balik Indonesia lantaran sudah berdomisili di luar,” tuturnya.
Kemudian ada Menteri Ristek BJ Habibie yang sangat memumpuni sehingga ditransfer dari Jerman. “Dia salah satu ilmuwan terkemuka di Jerman kala itu. Sampai Jenderal TNI Purn LB Moerdani harus diboyong dari Korea Selatan. Jadi mereka bekerja tanpa tekanan parpol,” katanya.
Saat ini, kata Dia, tokoh handal yang tersisa hanya Emil Salim. “Saat ini saya lihat banyak public policy yang amburadul, khususnya soal infrastruktur baik pembangunan jalan, jembatan dan gedung. Saya coba bandingkan jalan tol Jagorawi dan Cikampek yang dibangun di era Soeharto itu sangat bagus dan bertahan lama. Dan ini dibangun melalui konsep Repelita dan Pelita lho,” katanya.
Ada pula mid term and long term (jangka menengah dan jangka panjang) yang sebetulnya bisa diadopsi kebijakan di era Presiden Soekarno dan Soeharto sampai SBY. Pasalnya, ada beberapa program di era itu yang baik tapi saat ini tak berlaku lagi.
“Dibandingkan dengan saat ini, barangkali beda menteri di era Orde Lama dan Orde Baru. Zaman itu menteri belum terlalu sibuk dengan partai atau non partisan. Hampir rata-rata menteri dari kalangan akademisi, praktisi dan profesional,” katanya.
Jadi yang membandingkan dengan saat ini dengan era sebelumnya, kata Jerry, adalah urusan politis. “Saat ini kan political interest yang lebih kuat. Nah, kurangnya kelompok moderat, konservatif dan bipartisan kalau diparlemen. Bahkan urusan kabinet saat ini di-take over oleh parpol, jadi di sanalah kendalanya,” katanya.Bahkan, kata Jerry, saat ini banyak kebijakan muncul dengan ide sesaat tanpa perancangan matang. Inilah yang menurutnya merusak sistem pemerintahan. “Belum lagi menteri yang diangkat Presiden Jokowi, wrong man atau menteri yang sama sekali tak menguasai bidang. Anekdot dan alegorinnya, misalnya pakar pertanian diangkat jadi pendidikan misalnya, kan repot,” ujarnya.
Hebatnya, kata Jerry, untuk urusan economic growth atau pertumbuhan ekonomi di era Soeharto dipegang langsung Bappenas. Sedangkan saat ini tidak jelas siapa yang bertanggung-jawab apakah Menteri Keuangan, BPS, Menko Ekonomi atau siapa.
“Zaman Orde Baru dipegang oleh Bappenas. Jadi naik dan turunnya ekonomi merekalah yang bertanggung-jawab. Jika kembali ke motede dan rumus Repelita dan Pelita maka konsep pembangunan akan terarah. Justru saat ini kekuatan Kementerian PU-PR lebih besar dari Kementerian Bappenas. Bagi saya, program RPJM tapi tak terlalu efektif, jadi wewenang penuh harus diserahkan kembali Bapennas,” katanya.