PP Muhammadiyah: RUU Omnibus Law Cacat Moral dan Prosedural
JAKARTA – Pemerintah segera mengajukan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan Sistem Perpajakan ke DPR. Pembahasan kedua RUU tersebut ditargetkan tuntas dalam 100 hari.
Namun, sejumlah pihak mengkritisi RUU Omnibus Law tersebut. Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah misalnya, menyebutkan bahwa RUU Omnibus Law cacat prosedural dan substansial.
”Setelah kami mempelajari, terlepas dari pro dan kontra, kami menyimpulkan bahwa RUU ini tidak mencerminkan penghormatan terhadap hak masyarakat. Salah satunya hak untuk tahu yang dijamin konstitusi dasar. Dampak dari tidak diberitahukannya (draf RUU Omnibus Law) itu yang kami khawatirkan bersama, dampak destruktif yang akan diderita oleh masyarakat terkait alam dalam arti agraria secara luas, termasuk daulat negara,” ujar Ketua PP Muhammadiyah bidang Hukum dan Kebijakan Publik Busyro Muqoddas kepada wartawan di Gedung Pusat Muhammadiyah, Jakarta, Selasa (28/1/2020).
Busyro mengatakan bahwa dalam menyiapkan RUU Omnibus Law ini sangat terlihat adanya proses pelemahan demokrasi yang semakin vulgar. ”Makanya kita ingatkan jangan sampai cederai masyarakat, melukai masyarakat,” tuturnya.
PP Muhammadiyah bahkan telah melakukan kajian bersama terkait draf Omnibus Law yang mulai beredar di tengah masyarakat bersama sejumlah elemen sipil seperti Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Pimpinan Pusat Aisyiyah, DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), PP Nasyiatul Aisyiyah, Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan PP Muhammadiyah, Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan Indonesia Corruption Watch (ICW).
Ada pula Aliansi Masyarakat Nusantara (AMAN), Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PP MAN), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Publish What You Pay (PWYP), Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), TUK Indonesia, KONTRAS, Pusat Studi Agraria IPB (PSA-IPB), Sajogyo Institute (SAINS), Lokataru Foundation, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Forum Rektor Indonesia, Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP), Indonesian Centre for Environment Law (ICELL), Forum Korban Mafia Tanah Indonesia (FKMTI), dan Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Indonesia (HMPI).
Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Trisno Raharjo mengatakan, dari hasil kajian yang dilakukan, ada empat hal yang menjadi catatan. Pertama, masyarakat luas berhak tahu dan diberikan akses oleh pemerintah terhadap hal-hal penting yang terjadi di republik ini apalagi terkait dengan kepentingan rakyat.
Begitu juga dengan proses inisiasi pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja harus transparan dan disosialisasikan sedini mungkin ke masyarakat luas terkait dengan dasar-dasar filosofis maupun sosiologis bagaimana UU itu disusun untuk mendapatkan masukan dari berbagai pihak terkait (Pasal 28F UUD 1945 dan Azas Keterbukaan, Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011.
”Oleh karena RUU tersebut adalah inisiasi dari Kemenko Perekonomian, tim task force selain melibatkan unsur pemerintah juga harus melibatkan pihak-pihak lain yang berkepentingan terutama dari unsur masyarakatsipil agar kemanfaatan RUU tersebut tidak hanya menjadi sekadar kepentingan elite pemerintah,” tuturnya.
Poin ketiga, pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan partisipatif, ada proses public hearing serta tidak tergesa-gesa dengan mengutamakan kepentingan bangsa dan Negara di atas kepentingan bisnis kelompok tertentu, apalagi kepentingan asing.
”RUU tersebut harus selaras dengan tujuan Negara yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam perdamaian dunia,” tuturnya.
Poin terakhir yakni menolak keras jika RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja didesain untuk kelancaran agenda liberalisasi sumber daya alam negara dan menguntungkan kepentingan ekonomi investor yang tentunya agenda tersebut mencederai kedaulatan rakyat dan bertentangan dengan sila kelima Pancasila yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.