PDIP Ragukan OTT KPK di Kasus PAW Kader, KUHAP Bantah
NAGALIGA — Politikus PDI-Perjuangan Adian Napitupulu mengkritik Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyeret Komisioner KPU Wahyu Setiawan dalam kasus suap proses Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota legislatif 2019-2024.
Menurut dia, OTT harusnya digelar seketika saat tindak pidana terjadi. Sementara, penangkapan yang dilakukan KPK ada jeda dari kejahatannya serta dilakukan di lokasi terpisah. Padahal, Adian, yang merupakan mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru itu, mengklaim ‘operasi’ mestinya dilakukan dengan terorganisasi.
“Kalau liat ketentuan UU, tangkap tangan itu betul-betul [ditangkap] seketika kejadian terjadi. Di KPK orang sudah diikuti ada satu tahun. Seperti kasus Romy ketum PPP. Salah seorang saksi di persidangan, Agus Rahardjo mengatakan Romy sudah diikuti sejak 2017,” tuturnya.Sebelumnya, KPK menangkap sejumlah orang dalam OTT di Jakarta, Depok, Banyumas, pada Rabu (8/1) hingga Kamis (9/1). Lembaga antirasuah kemudian menetapkan kader PDIP Harun Masiku, Wahyu Setiawan; eks anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina; dan Saeful (swasta) sebagai tersangka.
“Wahyu ditangkap di Bandara. Di mana [lokasi penangkapan] perantara Wahyu; Tio? Di rumahnya. Di mana pemberi suap? Di restoran. Lalu tangkap tangannya di mana? Bukannya harusnya semua ada di tempat yang sama? Berkumpul tiga-tiganya ditangkap,” tutur Adian, yang juga anggota Komisi I DPR, di Tebet, Jakarta Selatan, Minggu (19/1).
Senada, kuasa hukum PDIP Maqdir Ismail menyebut OTT seharusnya digelar tanpa terencana dan seketika begitu menemukan tindak pidana. Sementara, KPK sudah menguntit lama target operasinya.
Terkait upaya penyegelan kantor DPP PDIP, KPK juga dinilai melakukan tindak pemaksaan dalam upaya penyelidikan.
“Kalau mau dilakukan upaya paksa misalnya penyegelan tempat atau menutup tempat itu harus pada saat penyidikan dilakukan. Bukan penyelidikan,” tutur Maqdi
Dalam pernyataan tersebut yang Maqdir maksud mengacu pada waktu kedatangan penyidik KPK ke DPP PDIP dan penetapan tersangka oleh KPK. Maqdir mengatakan penyidik KPK mendatangi kantor DPP PDIP pukul 08.00 WIB.
Sedangkan pernyataan soal penetapan tersangka terhadap Wahyu dan kader PDIP baru diungkapkan KPK pada konferensi pers kepada media, Kamis (9/1) malam.
Kata KUHAP
KPK sejauh ini belum berkomentar soal tudingan ‘cacat’ OTT tersebut. Namun, Febri Diansyah, saat masih menjabat juru bicara KPK, pernah menjelaskan soal jeda waktu dan perbedaan lokasi OTT, terkait kasus suap yang menjerat Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar pada 2017.
Saat itu, empat tersangka dalam kasus tersebut ditangkap di tiga lokasi terpisah dalam waktu yang berbeda.
Menurut Febri, KPK mengacu pada Pasal 1 angka 19 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terkait tangkap tangan. Bahwa, tangkap tangan tak hanya dapat dilakukan saat peristiwa pidana terjadi, tetapi juga beberapa saat setelah peristiwa pidana terjadi.
“Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya,” demikian bunyi pasal 1 angka 19 KUHAP.
“Atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu,” tambah pasal tersebut.
Terkait jenis tindak pidananya dalam kasus Patrialis, kata Febri, penyidik mendeteksi keberadaan transaksi. Namun, itu tak berarti penyerahan uang suap secara fisik, dan bisa berupa kesepakatan pemberian hadiah atau janji.
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar, pada Kamis (9/1), menyebut OTT terhadap Wahyu bermula dari informasi terkait dugaan permintaan uang dari Wahyu kepada Agustiani Tio. Setelah mendapat informasi tersebut, tim KPK mengamankan Wahyu dan pihak lainnya di lokasi terpisah.