Ormas Terbesar, Gus Yahya Khawatir NU Dimanfaatkan untuk Ambisi Politik
JAKARTA – Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan Islam terbesar di Indonesia selalu menjadi magnet bagi banyak kalangan. Jumlah massa yang besar kerap menjadi rebutan para petualang politik untuk merebut kekuasaan.
Kondisi ini sangat mengkhawatirkan karena organisasi NU hanya akan menjadi batu loncatan untuk meraih jabatan-jabatan strategis di pemerintahan. Sementara itu, program-program keumatan dan keagamaan hanya sekadar menjadi pemanis semata.
“Yang paling saya khawatirkan sekarang ini adalah kalau sampai ada pola calon presiden atau wakil presiden dari PBNU. Terus terang itu saya sangat khawatir sekali. Kenapa? Karena kemudian orang berkompetisi untuk bisa meraih kepemimpinan di dalam NU ini sebagai batu loncatan untuk bertarung mencapai kedudukan-kedudukan politik. Ini menurut saya berbahaya,” ujar Katib Aam PBNU KH Yahya Cholil Staquf dalam Peluncuran Buku PBNU Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta, kemarin.
Gus Yahya mengatakan, sebelumnya sudah tiga kali pimpinan NU ikut bertarung dalam bursa pilpres. Dua di antara berhasil, yakni ketiga KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang sebelumnya pernah menjadi Ketua Umum PBNU terpilih sebagai presiden dan KH Ma’ruf Amin yang sebelumnya menjadi Rais Aam PBNU sekarang menduduki posisi wakil presiden. Sementara itu, mantan Ketua Umum PBNU lainnya, KH Hasyim Muzadi, juga pernah maju sebagai cawapres bergandengan dengan Megawati Soekarnoputri, tapi gagal.
Menurut Gus Yahya, hal yang dikhawatirkan adalah ketika NU dijadikan batu loncatan politik, maka forum-forum musyawarah NU menjadi ajang kompetisi politik dari berbagai macam kekuatan mulai dari tingkat bawah hingga pusat. “Itu kekhawatiran saya sekarang. Bapak-ibu bisa membayangkan betapa bahayanya,” tuturnya.
Karena itu, menurut Gus Yahya, konstruksi tersebut harus diubah sehingga ke depan benar-benar NU secara fungsional bisa memberikan kemaslahatan. Untuk itu, posisi NU harus lebih inklusif, tidak lalu berhadap-hadapan atau bertabrakan dengan kelompok manapun.
Mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden ini juga berharap PBNU bisa berfungsi seperti kabinet, PWNU seperti pemerintah provinsi, dan PCNU seperti pemerintahan kabupaten/kota yang memiliki agenda serta target capaian secara nasional melalui aktivisme dari bawah. “Ini yang harus dilakukan ke depan. Dengan cara itu, NU akan kembali fungsional nyata sebagai organisasi, bukan hanya simbol-simbol untuk menggalang kekuatan supaya NU tidak menjadi batu loncatan politik,” tuturnya.
Ketua Harian Tanfidziyah PBNU Robikin Emhas mengatakan, apa yang disampaikan Gus Yahya itu harus dipahami sebagai bagian kritik akibat beberapa fenomena tentang orang-orang yang mengaku NU, tetapi tidak menjalankan akidah NU. “Orang-orang yang mau masuk NU bagi yang belum NU, tapi bukan dengan tujuan ber-NU, tapi menjadikan NU sebagai bagian sarana untuk mencapai tujuan dan agenda pribadinya,” katanya.