Komunikasi Partai Demokrat Kurang Taktis dan Berlebihan dalam Isu Kudeta
JAKARTA – Komunikasi Partai Demokrat dinilai kurang taktis dan berlebihan dalam isu upaya kudeta Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dari pucuk pimpinan partai.
Seperti diketahui, Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat Andi Mallarangeng beberapa hari lalu mengungkapkan informasi yang belum terverifikasi kebenarannya ke beberapa media massa, yakni menyebut Partai NasDem dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mendukung Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko sebagai calon presiden (Capres) 2024.
“Saya melihat komunikasinya Partai Demokrat, khususnya Bang Andi Mallarangeng kurang taktis ya, agak berlebihan, sehingga menimbulkan kontroversi dan membuka banyak front,” kata Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari kepada SINDOnews, Minggu (7/2/2021).
Selain soal Nasdem dan PKB yang dituding Andi Mallarangeng itu, Qodari menilai sebenarnya masalah tersebut sudah terlihat dari konferensi pers AHY di Taman Politik, Wisma Proklamasi DPP Demokrat, Senin 1 Februari 2021. “Yang saya hitung menyebut nama Pak Jokowi 4 kali tuh,” katanya.
Menurut dia, jika berniat menghentikan upaya kudeta itu cukup menyebut nama Moeldoko. Namun, kata dia, itu pun kalau memang benar Moeldoko terlibat dalam upaya pengambialihan kepemimpinan partai berlambang mercy itu.
“Pasti pesannya sudah sampai kepada Jokowi bahwa Partai Demokrat tidak senang dengan keterlibatan Moeldoko kalau memang benar ada. Nah ketika disebut nama Jokowi, maka kemudian seolah-olah atau bisa ditafsirkan bahwa Partai Demokrat sedang menyasar Jokowi, dan menimbulkan kesan dan pesan bahwa Jokowi ada di balik upaya KLB di Partai Demokrat,” tuturnya.
Sebab, kata dia, Moeldoko adalah alat atau instrumen dari Presiden Jokowi. “Nah tafsir seperti ini juga makin sulit dihindari karena malamnya Pak SBY membuat Twitter yang membagi manusia tiga golongan, yang baik, the bad yang buruk, the ugly yang jelek atau yang jahat,” imbuhnya.
“Atau the good-nya AHY Partai Demokrat, the bad-nya Moeldoko dan the ugly-nya adalah Jokowi, nah ini kan bahaya karena bisa menimbulkan luapan emosi di kalangan pendukung Jokowi maupun partai politik pendukungnya seperti PDIP, rupaya dalam pernyataan yang lain Pak Andi juga menyebutkannya nama Nasdem dan PKB, saya kira ini membuka front baru yang tidak perlu,” katanya.
Dia menilai dengan menyebut PKB dan Partai NasDem, sama saja menimbulkan kesan bahwa dua partai itu terlibat dalam upaya kudeta Partai Demokrat. “Hati-hati memang menyebut nama itu, ya PKB kan kita sudah paham semua bahwa PKB dalam mengambil keputusan capres dan cawapres itu pasti melalui proses dan komunikasi dengan PBNU misalnya, dan kita harus melihat harus ada pernyataan-pernyataan dulu dari PBNU, ini kan enggak ada,” ujarnya.
Seharusnya, kata dia, Andi Mallarangeng paham soal itu bahwa tidak mungkin PKB sekarang ini sudah mendukung Moeldoko atau nama tertentu untuk Pilpres 2024. “Kalau pun ada, ketua umumnya sendiri yaitu Muhaimin Iskandar, sampai nanti diputuskan dalam kelembagaan,” tuturnya.
Kemudian, lanjut dia, Partai NasDem juga sudah menyampaikan akan menjaring nama Capres melalui mekanisme konvensi. “Kita enggak tahu yang ikut konvensi, konvensiya aja belum ada, jadi ya orang pasti bilang Pak Andi Mallarangeng sebagai politisi enggak mungkin enggak paham dinamika dan mekanisme di PKB dan Nasdem, sehingga akhirnya menimbulkan tafsir bahwa memang sengaja menyebut NasDem dan PKB itu sebagai serangan politik,” ungkapnya.
Atau, kata Qodari, Andi Mallarangeng memang benar-benar tidak paham dinamika politik itu. Dia pun menyinggung pernyataan Andi Mallarangeng yang menolak Moeldoko memimpin Partai Demokrat karena kepala kantor staf presiden (KSP) itu berada di Partai Hanura.
“Padahal Pak Moeldoko sudah mengundurkan diri dari Hanura ketika ditunjuk jadi KSP tahun 2018. Jadi menurut saya sih komunikasi publik di Partai Demokrat harus diperbaiki kalau dilihat dari kacamata dinamika dan stabilitas politik, tetapi ya bukan mustahil bahwa seperti pernah saya sebut dalam kesempatan lain Partai Demokrat justru sedang menjalankan strategi elektoralnya yaitu membuka front dengan Jokowi dan partai-partai pendukung Jokowi, partai pemerintah katakanlah begitu, untuk menggalang suara dari pemilih yang tidak suka dengan Jokowi dan tidak puas dengan pemerintah,” katanya.
Apalagi, kata dia, kebetulan Partai Gerindra dan Prabowo Subianto sudah bergabung dalam Pemerintahan Jokowi-Maruf Amin. “Jadi ruang suara itu yang mau diambil Partai Demokrat dengan wacana dan dinamika KLB secara paksa ketua umum di Partai Demokrat,” katanya.