Koalisi Gemuk, Jokowi Dimintai Waspadai ‘Jebakan’ Politik
JAKARTA – The Political Literacy Institute bekerja sama dengan Universitas Pancasila menggelar diskusi akhir tahun Youth Political Outlook 2019 dengan tema Saatnya Anak Muda Bicara Politik.
Dalam forum tersebut dibahas mengenai prediksi kinerja pemerintah selama lima tahun ke depan. Yang pada akhirnya hasil diskusi bisa dijadikan rekomendasi atau pijakan pemerintah dalam merumuskan kebijakan.
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute, Gun Gun Heryanto mengatakan di penutup akhir tahun 2019 pihaknya memberikan sejumlah catatan mengenai perjalanan lima tahun pertama Presiden Joko Widodo serta untuk periode selanjutnya.
Menurut Gun Gun ada sejumlah perbaikan yang harus dilakukan Presiden di kepemimpinan keduanya. “Salah satunya memperkuat konsolidasi demokrasi Indonesia yang saat ini masih rentan. Menurut catatan Democracy Indeks dari Economic Intelligent Unit 2018, Indonesia masih masuk kategori Negara demokrasi tidak sempurna dengan nilai 6,39,” kata Gun Gun.
Dia juga menjelaskan perihal adanya potensi jebakan yang bisa saja terjadi. Pertama, soal gemuknya kekuatan politik di pemerintahan. Kedua soal lemahnya daya tahan untuk fokus bekerja di periode kedua.
“Biasanya incumbent itu concern (kinerja-red) menteri terganggu kepentingan parpol di paruh kedua kekuasaan. Itu yang harus diatasi Pak Jokowi jebakan soal pragmentasi kekuatan politik yang sering disebut sebagai persandingan presidensial dan multi partai ekstrem,” tuturnya.
Gun Gun mengingatkan di Indonesia tidak mudah mengelola situasi seperti itu sehingga diperlukan komitmen kuat Presiden untuk kordinasi dan komunikasi lintas sektoral. Tujuannya agar menteri dan jajaran bisa fokus bekerja selama lima tahun.
Dalam sistem presidensial, sambung dia, Jokowi memiliki hak mulia, yaitu prerogatif. Hanya dalam implementasinya tidak mudah di tengah derasnya kepentingan elite parpol.
“Dalam kondisi ini independensi Presiden sangat dibutuhkan sebagai satu-satunya orang yang diberi hak prerogatif menentukan menteri,” paparnya.
Presiden diharapkan melakukan perbaikan semisal konsolidasi demokrasi terkait penguatan kelembagaan, demokrasi dan pemerintahan.
Diketahui saat ini ramai diwacanakan mengenai reformasi birokrasi yang menurut Gun Gun itu dibutuhkan komitmen dan tidak sekeadar lip service.
Soal masuknya Partai Gerindra dalam koalisi, Gun Gun berpendapat untuk menjaga harmonisasi harus dilakukan tiga hal. Pertama, sikap Presiden sebagai pemilik hak prerogatif harus selalu dijaga dan dia harus berada di puncak otoritas dan jangan pernah ada dua matahari dalam kepemimpinan. Kedua, harus diperhatikan soal dinamika isu kepentingan parpol.
“Misalnya isu UU Pemilu dan UU Pilkada. Itu yang juga akan bisa membuat pola hubungan antar mitra koalisi fluktuatif,” katanya.
Ketiga, dinamis atau tidaknya hubungan di pemerintahan juga ditentukan oleh pergerakan elite di luar Jokowi seperti Surya Paloh dan Megawati termasuk juga Prabowo.
“Seperti apa sikap mereka menyikapi fenomena politik. Jokowi harus tegas. Rule of the game bahwa presiden lah yang dipilih oleh masyarakat dan dia harus memberlakukan semua menteri sama. Kendali ada di Jokowi,” tegasnya.
Soal potensi gesekan yang berujung pada perombakan kabinet atau reshuffle, Gun Gun mengingatkan perlu atau tidaknya reshuffle itu dilihat dari sebesara besar gesekan yang terjadi. Jika memang gesekan itu serius dan tidak bisa ditolerir maka reshuffle harus dilakukan.
“Intinya tidak boleh ada matahari kembar. Kendali ada di Jokowi sebagai Presiden yang punya hak prerogatif,” katanya.
Ketua panitia diskusi, Shinta Lestari mengatakan, tujuan acara ini untuk membaca, memaknai dan menginterpretasikan persoalan isu politik yang berkembang selama pemerintahan Jokowi-JK. Selain itu juga untuk membaca politik kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin.
“Tujuannya juga untuk menganalisis prospek literasi politik di kalangan milenial yang diformulasikan dan dijalankan dalam proses penyelenggaraan kontestasi electoral,” katanya, Jumat (22/11/2019).