Kepercayaan Publik Jadi Tantangan Demokrasi
AUSTRALIA – Kepercayaan publik saat ini dapat dikatakan merupakan tantangan bagi demokrasi. Menurut Elderman Trust Barometer 2019, masyarakat masih memandang pemerintah dan media sebagai lembaga sosial yang paling tidak dapat dipercaya dibandingkan dengan LSM dan lembaga usaha.
Ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP) DPR Fadli Zon mengungkapkan hal tersebut dalam forum tahunan Asia Pasific Parliamentary Forum (APPF) ke 28 di Canberra, Australia, Selasa (14/1/2020). “Mengembalikan kepercayaan publik dan menguatkan integritas adalah langkah-langkah yang perlu diambil oleh kita semua demi meningkatkan standar pelayanan lembaga publik dan melindungi kredibilitas mereka,” papar Fadli Zon yang juga anggota Komisi 1 DPR ini.
Dalam kesempatan tersebut hadir juga delegasi dari parlemen Indonesia. Diantaranya Putu Supadma Rudana dan Himmatul Aliyah. Hari ini merupakan hari kedua pelaksanaan sidang APPF yang akan berakhir pada 16 Januari mendatang.
Fadli mengungkapkan, semua menyaksikan tuntutan masyarakat di seluruh dunia terus berubah. Dalam beberapa bulan terakhir, banyak terjadinya demonstrasi publik dan protes di seluruh dunia. Mereka menginginkan perubahan dalam pemerintahan di negaranya masing-masing. Setiap gerakan tersebut memiliki latar belakangnya sendiri, mulai dari kenaikan tarif angkutan umum dan biaya hidup hingga korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan publik. “Semua ini mengakibatkan kepercayaan publik yang terus menurun dan melemahnya integritas kita,” ungkap mantan Wakil Ketua DPR ini.
Indonesia percaya bahwa integritas yang lebih kuat adalah kunci untuk mengatasi korupsi di manapun juga. Untuk itu, standar integritas haruslah mengandung unsur-unsur sebagaimana termaktub di dalam Komitmen Santiago untuk Memerangi Korupsi dan Memastikan Transparansi yang dicapai dalam APEC 2004. Unsur-unsur itu meliputi transparansi yang lebih baik, tata kelola yang lebih berkualitas, dan sistem yang lebih kuat untuk melawan korupsi, dan menyebutkan pula mengenai pembentukan nilai integritas dan kode etik.
Dorong Rezim Keterbukaan
Karena itulah, sambung Fadli, Indonesia pada tingkat nasional terus mendorong rezim keterbukaan. Sebagai pionir Open Government Partnership (OGP), Indonesia kini merupakan salah satu dari sedikit negara yang telah memiliki rencana aksi keterbukaan baik di sisi pemerintah maupun parlemen. Rencana aksi inipun telah mencapai siklusnya yang kelima, yaitu untuk 2018-2020. Selain itu, untuk memastikan inisiatif ini terlaksana, pemerintah telah membentuk tim khusus Open Government Indonesia (OGI) dan telah menyelenggarakan berbagai kegiatan untuk menguatkan praktik pemerintahan terbuka di Indonesia.
Langkah-langkah keterbukaan dimaksudkan sebagai pendorong menuju tata kelola yang baik dan kuat, serta kepercayaan publik yang lebih tinggi. “Kami pun telah mengesahkan UU Keterbukaan Informasi No. 14 Tahun 2008, sebagai salah satu prasyarat mengedepankan keterbukaan. Selain itu, perumusan Kebijakan Satu Data dan saluran pelaporan publik Lapor! (www.lapor.go.id) secara konkret memperlihatkan bagaimana keterbukaan bisa mendorong tata kelola yang lebih baik atas pelayanan publik, ” jelasnya.
Fadli melanjutkan pada 2018, DPR RI mengambil bagian dalam penyusunan langkah-langkah keterbukaan parlemen melalui Rencana Aksi Keterbukaan Parlemen. Terdapat beberapa aksi yang dilaksanakan melalui peluncuran Sistem Informasi Legislasi (Sileg 2.0) yang lebih mudah dan nyaman digunakan serta memberikan informasi transparan mengenai setiap produk legislasi. “Sileg 2.0 adalah jawaban kami terhadap kritik masyarakat yang disampaikan baik melalui media sosial maupun demonstrasi, yang menuntut agar DPR RI menjadi lembaga yang lebih transparan dan akuntabel,” tuturnya.
Melalui data yang disajikan, platform ini juga dapat membantu verifikasi fakta terkait berbagai isu legislasi yang mungkin diberitakan secara ambigu di platform daring/media sosial. Menurut Fadli, ke depan, sedang dipertimbangkan penerapan legislasi elektronik sebagai sarana partisipasi publik untuk menjadikan proses pembuatan kebijakan lebih inklusif dan terbuka bagi keikutsertaan masyarakat.
“Satu hal yang tidak boleh kita lupakan adalah bahwa penguatan integritas berarti juga mendorong transparansi untuk menutup peluang penyalahgunaan badan hukum mana pun untuk tujuan-tujuan tidak sah, seperti pencucian uang, pendanaan terorisme, penghindaran pajak, dan korupsi,” dia mengingatkan.
Pada 2018, Pemerintah Indonesia menerbitkan peraturan yang mewajibkan pengungkapan pemilik manfaat, yaitu Peraturan Presiden No 13/2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat Dari Korporasi Dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
Dalam hal upaya melawan korupsi, telah terjadi perubahan paradigma ke arah pengutamaan upaya-upaya pencegahan sejalan dengan Bab II Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC) melalui Peraturan Presiden No. 54/2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Melalui strategi ini, diharapkan kebijakan antikorupsi dapat lebih terarah, terukur, dan berdampak lebih besar. Pada akhirnya, hal ini akan memperbaiki indeks persepsi korupsi Indonesia dan semakin menguatkan integritas lembaga publik.
Di ranah legislatif, beberapa aksi telah diajukan di dalam usulan rancangan resolusi kami, termasuk penyusunan peraturan yang jelas terkait konflik kepentingan, transparansi ekonomi dan manfaat, transparansi keuangan, dan kode etik. Hal-hal ini hendaknya menjawab kebutuhan akan tata kelola yang lebih baik, yang mencakup nilai-nilai integritas dan etika moral yang lebih kuat.
Selain itu, lanjut Fadli, Indonesia juga mengimbau Parlemen Anggota APPF untuk terus mempererat sinergi, kerja sama, dan jaringan dengan organisasi multilateral dan sesama parlemen dalam mempromosikan integritas, keterbukaan, transparansi, dan tata kelola yang baik, seperit melalui Open Government Partnership (OGP), The Global Organization of Parliamentarians against Corruption (GOPAC), The Open Parliament e-Network (OPeN), dan lain-lain.
“Kami yakin bahwa kepercayaan, transparansi, akuntabilitas, tata kelola yang baik dan keterbukaan adalah prinsip prinsip yang baik dalam menguatkan hubungan masyarakat, pemerintah dan parlemennya. Hubungan yang lebih kuat niscaya akan meningkatkan kepercayaan masyarakat, yang secara otomatis juga melindungi integritas lembaga publik,” pungkas Fadli.