DPD Minta Pemerintah Cabut Moratorium Daerah Otonomi Baru
JAKARTA – Pemerintah diminta mencabut kebijakan moratorium atau penghentian sementara pemekaran daerah otonomi baru (DOB). Pasalnya, pemekaran dianggap sangat penting untuk mempercepat pembangunan di daerah.
“Sudah cukup lima tahun moratorium. Harus dibuka lagi pemekaran tapi sangat selektif,” ungkap Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) dari Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Abraham Paul Liyanto di Jakarta, Jumat (18/10/2019).
Dia menerangkan, wilayah NTT sebagai satu provinsi yang layak dimekarkan karena wilayah kepulauan. Selain itu, NTT juga berbatasan dengan tiga negara yang sudah maju.
“Kami di NTT terdiri dari ratusan pulau. Kami juga diapit tiga negara yaitu, Timor Leste, Australia dan New Zeland. Negara-negara tetangga kami sudah maju-maju, sementara kami masih terseret. Kami iri terhadap mereka. Satu cara agar bisa mengejar mereka adalah membuka pemekaran. Pemekaran akan mempercepat akselerasi pembangunan,” terang Abraham.
Anggota Komite I DPD yang mengurusi bidang Pemerintah Daerah, Pemekaran Wilayah dan Sinergi Hubungan Pusat dan Daerah ini mengakui desakan pemekaran kadang digunakan untuk meraih elektoral dari para politisi. Maka itu, pemerintah harus memberikan kriteria dan syarat yang ketat, misalnya pemekaran hanya untuk wilayah-wilayah strategis dan wilayah perbatasan.
“Pemekaran jangan menjelang pemilu karena pasti ada yang memanfaatkan. Harus dilakukan seperti sekarang pas anggota parlemen baru dipilih,” ujarnya.
Hingga saat ini, lanjut dia, sudah ada satu usulan pemekaran provinsi di NTT yaitu pembentukan Flores Kepulauan. Sementara pemekaran kabupaten dan kota mencapi 10 usulan.
Kesepuluhnya adalah calon Kabupaten Adonara (Flores Timur), Pantar (Alor), Amfoang (Kupang), Amonetun (Timor Tengah Selatan), Manggarai Barat Daya (Manggarai Barat) dan Kota Maumere. Kemudian ada empat dari Sumba Timur yaitu Pahunga Lodu, Sumba Selatan, Sumba Timur Jaya dan Malolo.
“Pemerintah pusat harus memproses berbagai usulan tersebut guna percepatan pembangunan di NTT,” ujar Abraham.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Endi Jaweng menilai pemekaran wilayah bisa saja dilakukan, namun sifatnya sangat selektif. Daerah-daerah yang bisa dilakukan pemekaran adalah wilayah perbatasan dan kepulauan.
“Untuk wilayah perbatasan dan kepulauan, itu (pemekaran, Red) penting. Sebagai tanda kehadiran negara,” ujar Endi. Dia mengakui dari segi kelayakan, daerah-daerah perbatasan dan kepulauan bisa saja tidak layak dimekarkan.
Sebagai contoh dari segi jumlah penduduk, daerah perbatasan tidak masuk dalam kategori pemekaran karena jumlah penduduknya sedikit. Kemudian, dari segi potensi ekonomi juga tidak layak karena hasil-hasil daerah sebagai penopang percepatan pembangunan wilayah pemekaran tidak ada. Berbeda dengan Jawa yang potensi ekonomi besar, jumlah penduduk juga banyak.
“Kalau memakai kriteria seperti itu, nanti yang dimekarkan wilayah-wilayah di Jawa saja. Padahal yang butuh kehadiran negara adalah di daerah perbatasan. Maka prioritas pemekaran adalah daerah perbatasan dan wilayah kepulauan,” kata Endi.
Endi pun meminta ada evaluasi atas 223 DOB yang telah dibentuk sejak tahun 1999. Evaluasi dinilainya sangat penting untuk mengetahui perkembangan pembangunannya.
“Jika ada yang gagal, jangan langsung digabung atau dikembalikan wilayah induknya. Perlu ditempatkan di bawah bimbingan teknis dari Kementerian Dalam Negeri. Mereka diberi kesempatan untuk perbaiki diri. Kalau tetap gagal maka harus digabung atau kembali ke wilayah induk,” tutur Endi.
Sekadar diketahui, ada 223 DOB yang dibentuk sejak 1999 hingga 2014. Jumlah itu terdiri dari 8 provinsi, 181 kabupaten, dan 34 kota. Saat ini ada 34 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota yang berdiri di Indonesia.
Dalam periode pertama pemerintahan tahun 2014-2019, tidak ada pemekaran wilayah baru. Hal tersebut karena pemerintah mengembali kebijakan moratorium. Adapun dalam periode kedua 2019-2024, belum ada tanda-tanda kebijakan itu dicabut.