Waspadai Eksodus Orang dari Kota Sebelum Pemberlakuan Pelarangan Mudik
JAKARTA – Pemerintah perlu mewaspadai adanya eksodus orang dari kota besar sebelum penerapan pelarangan mudik pada 24 April nanti. Daerah tujuan pemudik paling banyak tersebar di Provinsi Jawa Tengah.
Ketua Bidang Advokasi Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijawarno mengatakan pergerakan orang dalam jumlah besar itu bisa menggunakan angkutan umum atau sewa berpelat hitam. Mereka akan memanfaatkan belum adanya aturan batasan jumlah penumpang bagi kendaraan yang keluar wilayah Jabodetabek.
“Larangan itu dapat diterapkan mulai sekarang pada semua kendaraan keluar Jabodetabek, kecuali kendaraan logistik dan kendaraan tertentu yang diijinkan,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Rabu (22/04/2020).
Berdasarkan data Balitbang Kementerian Perhubungan (Kemenhub), ada lima daerah yang akan diserbu pemudik. Daerah-daerah itu, antara lain, Kabupaten Brebes diperkirakan berjumlah 76.016 orang, Banyuwas 73.468, Pemalang 58.517, Tegal 48.826, dan Wonogiri 43.100 orang.
Djoko menuturkan pelarangan mudik itu tidak hanya dari Jakarta ke daerah lain. Akan tetapi harus diberlakukan di seluruh Indonesia. Harus diakui pemudik terbesar berada di Jakarta dan zona merah pandemi COVID-19.
Pelarangan mudik dapat diterapkan berdasarkan batasan wilayah aglomerasi, seperti Jabodetabek, Malang Raya, Bandung Raya, Kedungsepur, Gerbangkertasusila, Banjarbakula, Mebidang, Barlingmascakeb. “Sekarang ini, mobilitas penduduk sudah menyebar dalam kawasan aglomerasi,” ucapnya.
Pelarangan mudik ini akan berdampak pada perusahaan angkutan umum dan pekerjanya. Yang paling terdampak tentunya bus antarkota antarprovinsi (AKAP), antarjemput antarprovinsi (AJAP) atau travel, bus pariwisata, taksi reguler, dan sebagian angkutan perairan.
Djoko menyarankan agar pemerintah memberikan insentif dan kompensasi kepada mereka. Tujuannya, agar tidak satupun perusahaan angkutan umum yang gulung tikar. Yang rugi juga kelak pemerintah jika banyak perusahaan angkutan umum yang bangkrut.
Maka, pemerintah harus merevisi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran COVID-19. Dalam beleid itu ada kebijakan keringanan pembayaran bagi debitur dengan plafon angsuran maksimal Rp10 miliar.
“Jangan dibatasi nilainya hingga Rp10 miliar. Dihilangkan saja batasan itu, supaya pengusaha angkutan umum mendapat insentif penundaan pembayaran pinjaman. Juga penundaan membayar pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP),” pungkasnya.