Wacana Peleburan Pelajaran Agama dengan PKn, Zainudin Maliki: Ahistoris!
JAKARTA – Wacana peleburan mata pelajaran agama dengan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) mendapatkan perhatian dari anggota Komisi X DPR Prof Zainuddin Maliki. Dia mengungkapkan, wacana ini sudah dibahas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui focus group discussion (FGD) secara terbatas.
Kendati belum dilemparkan kepada publik, bila benar adanya, ide wacana tersebut dianggapnya tidak kontekstual dan ahistoris. “Artinya pemikiran seperti itu tidak memiliki akar budaya, akar kehidupan bangsa Indonesia yang religius,” ujarnya, Kamis (18/6/2020).
Politikus PAN menjelaskan, ide untuk menggabungkan dua mata pelajaran itu menunjukkan bahwa ada sejarah sejarah yang belum dipahami bahwa agama menjadi akar budaya bangsa.
“Itu tidak mencerminkan akar budaya bangsa. Para founding fathers kita dulu merumuskan Pancasila dan kemudian menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa pada sila pertama, itu berangkat dari peta dan akar budaya bangsa Indonesia yang religius,” tuturnya.
Memang, beberapa negara di Barat yang menjadikan agama tidak sebagai mata pelajaran. Hal itu karena bangsa barat memiliki akar budaya yang berbeda dengan bangsa Indonesia.
“Bahkan saya ke Inggris saja, saya ke sebuah sekolah menengah atas, SMA Trinity di London, saya memperoleh penjelasan di sana bahwa pelajaran agama itu diajarkan di Inggris mulai SD sampai Perguruan Tinggi. Pelajaran agama diajarkan selama itu,” urainya.
Mantan rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya berkisah, sepulang dari Inggris dia membawa buku pelajaran agama untuk SMP. Karena siswanya banyak dan agamanya berbeda-beda, satu buku pelajaran agama itu membuat aneka ajaran agama. “Di dalamnya ada pelajaran agama Kristen, Katolik, Konghucu, Islam, Hindu, Budha, dan agama lainnya dalam satu buku,” urainya.
Zainuddin mengatakan, UU Sisdiknas sebenarnya juga mengacu konsep seperti itu. Siswa belajar mata pelajaran agama sesuai dengan agama yang dianut. Misalnya, ada di sebuah madrasah siswa beragama Katolik, maka madrasah itu harus juga menyediakan pelajaran dan pengajar beragama Katolik, walaupun hanya untuk satu siswa.
“Begitu juga sebaliknya, kalau ada orang Islam sekolah di sekolah Katolik maka di sekolah itu harus mengajarkan
Jika negara seperti Inggris saja menempatkan agama secara khusus, kata Zainuddin, Indonesia yang punya akar budaya bangsa religius, sudah seharusnya menempatkan pendidikan agama di dalam kurikulum secara proporsional .
Karena ide dan gagasan tersebut belum digulirkan dan konsepnya belum menjadi konsumsi publik secara luas, Zainuddin berharap agar tidak muncul pemikiran tersebut. Karena, kurikulum di Indonesia harus disusun berangkat dari akar budaya bangsa yang religius.
“Saya tidak menganggap Kemendikbud sudah punya pemikiran seperti itu, saya anggap Kemendikbud tidak punya pemikiran seperti itu. Tetapi kalau ada pemikiran seperti itu maka ini sama dengan mencerabut pendidikan dari akar budaya bangsa yang religius,” pungkasnya.