Surplus Neraca Dagang Belum Cukup untuk Memperkokoh Otot Rupiah
JAKARTA. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia membukukan surplus neraca dagang di semester I-2022 yang mencapai US$ 24,89 miliar sebagai rekor surplus terbesar sepanjang sejarah. Namun demikian, tren surplus itu belum sepenuhnya mampu memperkuat otot rupiah.
BPS mencatat, nilai ekspor Indonesia pada Juni 2022 sebesar US$ 26,09 miliar, naik 21,30% month to month (mtm).
Lonjakan ekspor ini sejalur dengan pembukaan kembali ekspor minyak kelapa sawit mentah alias crude palm oil (CPO) dan turunannya. Kebijakan ini membuat ekspor CPO melesat 862,66% mtm menjadi US$ 2,74 miliar.
“Memang, peningkatan yang signifikan pada Juni 2022 disebabkan pada Mei 2022 ada kebijakan larangan ekspor CPO. Sehingga, saat dibuka kembali, ada lonjakan ekspor,” kata Kepala BPS Margo Yuwono, Jumat (15/7).
Negara tujuan ekspor CPO terbesar adalah Pakistan dengan nilai mencapai US$ 450,63 juta, melesat 1.958,89% mtm. Disusul ekspor CPO ke China US$ 314,38 miliar, meningkat 291,10% mtm.
Sementara nilai impor Indonesia pada Juni lalu tercatat US$ 21 miliar, naik 12,87% mtm. Pendorongnya adalah kenaikan impor migas maupun nonmigas. Impor migas sebesar US$ 3,67 miliar, naik naik 9,52% mtm. Sedang impor nonmigas US$ 17,33 miliar, meningkat 13,60% mtm.
Margo memerinci, kenaikan impor migas didorong peningkatan impor minyak mentah 45,34% mtm dan hasil minyak 5,89% mtm. Sementara impor nonmigas dipicu oleh kenaikan impor mesin dan peralatan mekanis berikut bagiannya serta besi dan baja.
Alhasil, surplus neraca perdagangan Indonesia sepanjang Juni lalu mencapai US$ 5,09 miliar. Adapun surplus neraca perdagangan CPO sebesar US$ 2,74 miliar atau 54% dari total surplus.
Secara kumulatif, surplus neraca perdagangan negara kita periode Januari hingga Juni tahun ini mencapai US$ 24,89 miliar, tumbuh 110,22% dibandingkan dengan realisasi periode yang sama tahun lalu. Bahkan, “Bisa disebut, ini merupakan rekor surplus semester pertama tertinggi sepanjang masa,” ungkap Margo.
Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman melihat tren surplus neraca perdagangan Indonesia ke depan akan mengecil. Hal ini seiring dengan potensi nilai impor yang meningkat di tengah potensi penurunan kinerja ekspor.
Pemulihan ekonomi yang berlanjut dan pelonggaran kegiatan masyarakat akan meningkatkan volume impor, khususnya impor minyak untuk keperluan mobilitas. Sejalan dengan itu, peningkatan harga minyak, Faisal meramal, masih kuat meski memang tidak setinggi peningkatan di semester I-2022.
“Makanya, ini akan membawa peluang bahwa impor akan mengejar kinerja ekspor, sehingga surplus neraca perdagangan barang akan menyusut pada paruh kedua tahun ini,” kata Faisal kepada KONTAN.
Rupiah melemah
Meski begitu, Faisal masih meyakini neraca perdagangan di sepanjang tahun ini bakal berada di kisaran US$ 40 miliar hingga US$ 44 miliar. Angka itu lebih tinggi dari surplus tahun lalu yang hanya sebesar US$ 35,34 miliar.
Dengan demikian, neraca transaksi berjalan, dia memproyeksikan, kemungkinan masih akan mencetak surplus tapi tipis 0,03% terhadap produk domestik bruto (PDB). Namun, surplus ini menyusut dari tahun lalu yang sebesar 0,28% terhadap PDB.
Faisal juga memperkirakan, nilai tukar rupiah pada akhir tahun nanti bergerak di kisaran Rp 14.765 per dollar Amerika Serikat (AS). Level ini melemah dari kurs mata uang garuda di akhir tahun lalu yang berada di angka Rp 14.253 per dollar AS.