Sirkulasi Elit Politik Tersumbat di Wajah Pimpinan DPR/MPR
JAKARTA – Wajah pimpinan DPR dan MPR menunjukkan sirkulasi kepemimpinan di partai politik di Indonesia tersumbat. Beberapa wajah lama mengisi pos-pos di level pimpinan dua lembaga negara tersebut.
Hal itu disampaikan oleh Ferdian Andi, Peneliti di Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum)/Dosen Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Jumat (4/10/2019)
“Seperti figur Muhaimin Iskandar yang kembali mengisi posisi Wakil Ketua DPR yang pernah dijabat sebelumnya. Padahal, 20 tahun yang lalu Muhaimin pernah mengisi pos tersebut sebagai Wakil Ketua DPR Periode 1999-2004 dan periode 2004-2009,” kata Ferdian.
Begitu juga profil sejumlah pimpinan MPR. Nama-nama lama seperti Zuklifli Hasan (PAN), Hidayat Nurwahid (PKS) kembali diajukan sebagai pimpinan MPR. Posisi Zulkifli ini kali kedua sebagai pimpinan MPR sebelumnya di Periode 2014-2019, Zukifli Hasan menjabat sebagai Ketua MPR.
Sebelumnya, di periode 2009-2014 Zulkifli juga menjabat sebagai Menteri Kehutanan. Sedangkan Hidayat Nurwahid pengajuan sebagai Wakil Ketua MPR merupakan kali ketiga sebagai pimpinan MPR. Pada periode 2004-2009 sebagai Ketua MPR dan Periode 2014-2019 sebagai Wakil Ketua MPR.
Dua pimpinan MPR lainnya seperti Ahmad Basarah dan Ahmad Muzani menjabat pimpinan MPR periode sebelumnya imbas perubahan UU MPR, DPR, DPD dan DPRD pada tahun 2018 lalu. Tidak menjabat penuh dalam satu periode kepemimpinan MPR. “Dua sosok ini relatif sosok baru di pimpinan MPR,” katanya.
Pengisian jabatan publik seperti pimpinan DPR dan MPR memang merupakan hak partai politik. “Namun, pesan yang disampaikan partai politik dengan menunjuk orang-orang lama di pos jabatan publik tersebut, seperti ketiadaan figur lain di internal partai politik untuk mengisi jabatan itu,” tandasnya.
Padahal, sirkulasi elit untk mengisi jabatan publik penting dan keniscayaan untuk dilakukan.
Lebih dari itu, persoalan ini tidak terlepas dari ketiadaan mekanisme di internal partai politik yang belum terbentuk dengan baik. “Muaranya terletak pada tidak adanya aturan pembatasan masa jabatan ketua umum partai politik di Indonesia maksimal dua periode saja. Meskinya, partai politik mengambil spirit pembatasan masa jabatan presiden/wakil presiden sebagaimana tertuang dalam konstitusi UUD 1945 sebagai upaya untuk sirkulasi kepemimpinan nasional,” ujar Ferdian.
Spirit ini semestinya ditransformasi dengan baik oleh partai politik baik dalam pengisian jabatan ketua umum partai politik maupun jabatan publik baik di lembaga eksekutif maupun di pimpinan legislatif.
“Dengan cara demikian, akan terjadi sirkulasi elit yang akan menyehatkan demokrasi di internal partai,” katanya.
Masalah lainnya, rangkap jabatan Ketua Umum Partai dengan jabatan publik. Meski tidak ada larangan rangkap jabatan antara ketua umum partai dan jabatan publik, semestinya partai politik dapat memberi contoh etik dengan melarang rangkap jabatan sebagai Ketua Umum partai dengan jabatan publik.
“Langkah ini semata-mata untuk memastikan kerja-kerja di jabatan publik tidak bias dengan kerja-kerja politik kepartaian,” tandasnya.