Ratusan Kasus Pidana Selesai Secara Restoratif, Langkah Penuhi Rasa Keadilan
AKARTA – Layak mendapat apresiasi kinerja Jaksa Agung ST Burhanuddin yang telah menyelesaikan lebih dari 100 kasus pidana ringan di Indonesia melalui cara restoratif atau jalan damai dengan mengedepankan sisi kemanusiaan serta memperhatikan keadilan korban. Kasus pidana yang selesai secara restoratif itu termasuk langkah memenuhi rasa keadilan masyarakat. Apalagi jumlahnya rastusan.
Hal itu disampaikan Guru besar hukum dari Universitas Parahyangan (Unpar) Asep Warlan Yusuf, terkait Langkah-langkah penanganan hukum oleh Jaksa Agung.
Asep menjelaskan, penyelesaian perkara dengan sistem restoratif ini sesuai dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Peraturan tersebut ditandatanganinya pada 21 Juli 2020.
Menurut Asep, penyelesaian perkara dengan restorative justice oleh Kejaksaan Agung dalam kasus tindak pidana ringan dengan jalan damai tanpa harus melalui peradilan adalah kebijakan yang tepat untuk memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat.
“Pidana ringan itu hemat saya bukan kejahatan, tapi sebuah pelanggaran hukum saja, sehingga kalau misalnya pelanggaran itu bisa dianggap sebagai sebuah perbuatan yang dapat ditoleransi dengan adanya restorative justice itu bagus. Jadi tidak harus dengan memenjarakan orang ketika dia hanya pelanggaran,” ujar Asep, Senin (26/10).
Menurut Asep, adil bukan berarti dimaknai orang yang bersalah harus dihukum penjara atau dimasukan ke dalam lapas, tapi bisa diselesaikan dengan jalan musyawarah seperti halnya dikenakan denda bagi pelanggarnya atau sesuai kesepakatan hasil mediasi antar keduabelah pihak.
“Sehingga kalau misalnya pidana ringan itu, kalau dia misalnya bisa diselesaikan dengan sanksi administrasi atau pemulihan-pemulihan kegiatan yang mungkin akan diorientasikan pada kesesuaian antara perbuatan dengan kebutuhan masyarakat, antara perbuatan dengan lingkungan, itu bisa saja dilakukan seperti itu, jadi tidak harus pidana itu selesaikan dengan pemenjaraan orang atau masuk kelapas,” urainya.
Lanjut Asep, tindak pidana ringan merupakan suatu kelalain bukan bermotifkan kejahatan yang merugian orang lain atau merugikan lingkungan sekitar. Ketika perbuatan tersebut masuk kedalam kualifikasi sebagai tindak pidana ringan maka sebaiknya penyelesaian nya bukan melalui pemenjaraan.
“Jadi hakim memutuskanya tidak harus dipenjara tapi dia bisa diputuskan oleh pengadilan dengan cara misalnya rehabilitasi sesuatu yang diperbuat, bisa dengan perbuatan-perbuatan yang memang dilakukan untuk tidak memenjarakan orang, banyak lah kegiatan yang bisa sesuai dengan keadilan,” tukasnya.
Sebelumnya, dalam keterangan tertulisnya, ST Burhanuddin menyampaikan penerapan restorasi (restorative justice) ini bertujuan agar penanganan perkara dapat lebih mengedepankan perdamaian, khususnya untuk kasus-kasus relatif ringan dan beraspek kemanusiaan.
Terutama berkaitan dengan kasus-kasus relatif ringan dan beraspek kemanusiaan, seperti pencurian yang nilai kerugiannya minim, tindak pidana yang bersifat sepele.
Sebanyak 100 lebih perkara yang telah diselesaikan melalui mekanisme restorative justice itu terhitung setelah Perja tersebut diteken. Kasus-kasus itu tersebar di Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) di seluruh Indonesia.