Perludem: Pengambilan Keputusan di Parpol Ditentukan Segelintir Orang
JAKARTA – Perludem menilai, perlu ada pembenahan sistem kepartaian dan pemilihan umum (pemilu) untuk mencegah munculnya oligarki politik. Pengambilan keputusan dalam partai politik (parpol) masih dikuasai segelintir orang.
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini mengatakan, biasanya keputusan dalam partai ditentukan ketua umum dan sekretaris jenderal. Sementara itu, pengurus dan anggota partai lainnya tidak memiliki akses yang memadai.
Dia juga menyoroti terus meningkatnya ambang batas partai untuk masuk parlemen. Sekarang ambang batas parlemen 4 persen dan diwacanakan akan naik menjadi 7 persen pada pemilu 2024.
Masalahnya, partai dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak pernah transparan mengenai metode ilmiah penentuan ambang batas itu. Peningkatan ambang batas hanya dilihat untuk menyederhanakan jumlah partai.”Di tingkat global itu ada rumusannya. Kita menerima saja (ambang batas) 3,5 persen dan 4 persen. Logika rasional dibalik itu tidak pernah (diungkap) kepada publik,” ujar Titi dalam diskusi daring bertema ‘Pemilu, Pilkada, dan Oligarki Politik’, Rabu (22/7/2020).
Perempuan lulusan Universitas Indonesia (UI) itu menerangkan, Indonesia juga tidak memiliki pemilu sela. Padahal keberadaan pemilu sela ini bisa bermanfaat untuk mengoreksi kebijakan dan perilaku anggota parlemen dengan cepat sehingga tidak harus menunggu lima tahun.
“Kita ditinggalkan dalam pembahasan RUU Minerba, KPK, omnibus law. Kita tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengoreksi partai yang semakin elitis,” tuturnya.
Dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), kuasa dewan pimpinan pusat (DPP) sebuah partai itu sangat besar. Usulan calon dari daerah bisa mental karena selembar surat dukungan dari DPP.
“Sistem kepartaian kita tersentral. Pelaporan dana kampanye hanya basa-basi. Ada riset KPK (dana kampanye) melampaui harta kekayaan yang dia miliki. Yang menentukan kampanye pemilik modal,” jelasnya.