Nelayan Dadap Korban Reklamasi Upayakan Mediasi
NAGALIGA — Nelayan Kampung Baru Dadap, Muhammad Alwi dan Ade Sukanda masih mendekam di Polda Metro Jaya Jakarta, hampir dua pekan. Sejak 13 November 2019 keduanya ditahan.
Kuasa hukum para nelayan, Pius Situmorang mengatakan hingga kini belum ada proses hukum lanjutan. Karena itu pihaknya masih mengupayakan penangguhan penahanan.
Bahkan jika memungkinkan, kata Pius, timnya mengajukan permohonan pembebasan untuk kliennya, meski hingga kini belum ada jawaban dari kepolisian.
“Sampai saat ini kami masih menempuh jalur mediasi, bila memang Muhammad Alwi dan Ade Sukanda dapat dibebaskan tanpa syarat apapun,” kata Pius kepada CNNIndonesia.com melalui pesan singkat, Selasa (26/11).
“Tapi sampai tengah malam dia enggak pulang. Lalu ada penyidik menghubungi, katanya dua hari ke depan… e… ayah belum bisa pulang,” lanjut Nur lagi.Kasus tersebut bergulir sejak 2017. Bermula saat proses pengerukan pulau reklamasi merusak bagan ternak kerang hijau milik nelayan. Sebanyak 512 bagan yang jadi penghidupan nelayan, hancur. Puluhan pencari kerang hijau itu lantas menuntut perusahaan membayar ganti rugi sekitar Rp5,4 miliar.
Perkara tersebut sempat dilaporkan ke Polres Penjaringan, Jakarta Utara, tapi tak ada kelanjutan. Pada saat yang sama pihak PT Kukuh Mandiri juga melaporkan nelayan atas tuduhan pengancaman.
Sebab pada 2017, nelayan Dadap dan Kamal Muara memang getol memprotes aktivitas kapal penyedot dan pengangkut pasir reklamasi
Namun belakangan justru yang masih diproses hingga kini adalah pelaporan pihak PT Kukuh Mandiri yang dialamatkan ke dua nelayan. Bertahun berselang pada 2019, surat penetapan tersangka dan panggilan pemeriksaan itu tiba.
“Sekarang sudah hampir selesai itu pembangunan jembatan [reklamasi]. Justru itu juga yang kami bingung, kasus ini kan sudah lama sementara proyek terus jalan dan kami sudah enggak ada ganggu mereka,” tutur Nur.
“Tapi kok malah begini, tiba-tiba dilaporkan,” lanjut dia lagi”.
Ia merasa janggal perkara itu diungkit lagi. Sebab kata Nur, sebelumnya telah ada mediasi dan kesepakatan antara warga dengan perusahaan.
Nur pun menduga, jangan-jangan dibukanya kembali kasus tersebut ada hubungannya dengan nelayan yang kembali menuntut ganti rugi. Pasalnya pemanggilan terakhir sebagai saksi pun dilakukan saat masih 2018.
“Saya sih dugaan ke sana, tapi kan itu belum pasti juga. Karena nggak bisa langsung mengaitkan,” tutur dia lagi.
Bukti Foto Selfie
Ia mengaku sempat menanyakan ke penyidik kepolisian mengenai alasan kasus ayahnya kembali diungkit. Penyidik polisi pun menurut dia sama bingungnya.
“Penyidiknya bilang begini, ‘Saya juga bingung dik, kenapa kasus ini muncul lagi? Saya kira ini sudah selesai, tiba-tiba pelapor minta ini ditindaklanjuti lagi’,” cerita Nur menirukan.
Perempuan 23 tahun itu juga menanyakan kenapa ayahnya langsung ditahan. Polisi menjawab dengan menunjukkan beberapa foto dan video yang disebut sebagai bukti kasus.
“Dia ngasih beberapa bukti yang menurut saya enggak valid. Itu foto ayah saya sedang selfie, sedangkan di surat panggilan disebut telah melakukan ancaman, tindak kekerasan dan perusakan. Sementara buktinya yang ditunjukkan itu hanya foto selfie keberadaan ayah saya,” ungkap dia.Rekaman video yang ditunjukkan polisi pun menurut dia tak merekam gambar sang ayah.
Pekan lalu puluhan nelayan dan warga Kampung Dadap menggelar aksi solidaritas di kawasan pembangunan jembatan penghubung ke Pulau C Reklamasi.
Aksi itu menuntut Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Gatot Eddy Pramono membebaskan kedua nelayan tanpa syarat dan melindungi warga. Polisi juga diminta mengusut tuntas dan menangkap pelaku perusakan bagang ternak nelayan.
Tuntutan ketiga, warga dan nelayan Kampung Dadap juga mendesak Presiden Joko Widodo dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menghentikan proyek reklamasi serta seluruh proyek pembangunan yang merugikan dan merampas hak warga.