Nadiem Serahkan Penyisiran Sekolah Rentan Roboh ke PUPR
NAGALIGA — Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menyerahkan mandat penyisiran sekolah rentan roboh kepada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
“Kementerian PUPR yang punya kompetensi jauh di atas kita untuk bisa menentukan mana gedung-gedung [sekolah] yang mungkin perlu perubahan renovasi dan lain-lain,” ujarnya di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Senin (10/2).
Hal tersebut diungkapkan merespons pertanyaan terkait kelanjutan wacananya menyisir gedung sekolah rentan roboh.
Namun setelah berdiskusi dengan Kementerian PUPR, Nadiem menyadari bahwa mereka sudah banyak melakukan inovasi terkait penyisiran gedung sekolah rentan roboh. Sehingga ia menilai agar tidak tumpang tindih, kewenangan itu baiknya ada pada Kementerian PUPR.
“Jadi kami ada pemisahan tanggung jawab di situ. Dua-duanya [kementerian] tanggung jawab, tapi ada pemisahan peran,” ucapnya.
Nadiem sebelumnya mengatakan bakal memeriksa sekolah-sekolah yang kondisi fisiknya perlu diperbaiki pada 2020. Usai pendataan, Nadiem menyebut sekolah rentan roboh akan diprioritaskan untuk direhabilitasi.
“Salah satu hal yang bikin saya takut sekarang ini, belum mengetahui sekolah yang rentan roboh,” tuturnya di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Senayan, Jakarta Selatan pada Senin (23/12).
Pada rapat kerja dengan Komisi X DPR RI, ia juga mengatakan pihaknya sudah mengalokasikan dana sebesar Rp400 miliar untuk melangsungkan penyisiran.
Namun begitu Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Sekretariat Jenderal Ade Erlangga menyatakan rencana penyisiran tersebut belum final.
“Belum dilaksanakan surveinya. Anggaran juga masih perlu dibahs bersama dengan DPR. Belum final,” ujarnya.
Terkait penanggulangan kekerasan fisik maupun seksual di lingkungan sekolah dan kampus, Nadiem juga tak banyak menjawab tentang rencana langkah ke depan.
Ia hanya mengatakan pihaknya tentu bakal berkoordinasi dengan lintas kementerian lainnya, mengingat kasus kekerasan fisik dan seksual masih menjamur meskipun sudah ada aturan yang menegaskan pencegahan dan penanggulangannya.
“Ini masalah yang sangat kompleks dan butuh juga dukungan dari berbagai macam pihak. Terutama Dinas Pendidikan di masing-masing daerah. Silahkan kaji apa yang bisa dilakukan,” ujarnya.
Sebelumnya aliansi Gerakan Perempuan menggelar unjuk rasa di depan kantor Kemendikbud, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta pada Senin (10/2). Mereka menuntut Kemendikbud tidak pasif dalam menangani kasus kekerasan fisik dan seksual.
Mereka juga menyinggung adanya Permendikbud No. 82 tahun 2015 tentang Pecegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan yang belum efektif dijalankan institusi pendidikan.