Marwan Jafar Ajak Masyarakat Petik Pelajaran dari Sejarah Wabah
JAKARTA – Banyak orang sama sekali tidak membayangkan dan memikirkan di masa hidupnya bisa menemui pandemi besar yang disebabkan COVID-19 seperti sekarang. Sebuah wabah yang benar-benar mengubah drastis kewajaran sejumlah aktivitas orang-orang menjadi kedaruratan pada banyak aspek kehidupan.
Anggota DPR dari Fraksi PKB, Marwan Jafar mengatakan semula wajar berbelanja berdesakan, berhimpitan di KRL, kapal laut dan pesawat terbang, berbaris rapat saat beribadah di masjid dan gereja, bercanda di tempat kerja atau sekolah-kampus-pesantren, menghibur diri di tempat wisata, nonton bola dan konser musik dan seterusnya.
Tentu saja, amat bervariasi saat orang-orang menyikapi datangnya ‘tamu istimewa’ COVID-19 ini, mulai dari perasaan cemas, ngeri, cuek hingga tetap bersikap optimis-semangat. Singkatnya, banyak juga pelajaran atau hikmah yang wajib kita petik dari pandemi dahsyat ini.
Dia menuturkan yang pasti pandemi COVID-19 dapat dijelaskan atau dikritisi dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan, teknologi hingga spiritual. Baik dari sisi kedokteran, biologi, psikologi, kimia, sosiologi, serta ekonomi hingga temuan teknologi mutakhir dan sugesti melalui doa-doa.
“Jangan lupa juga, sudah sejak lama sejarah umat manusia mengalami serangan penyakit endemi-epidemi, wabah dan penyakit menular. Misalnya, dekade 1330 wabah yang dinamai “Maut Hitam” dari Asia tengah atau timur muncul penumpang kutu Yersinia pestis menginfeksi manusia yang digigit kutu. Dari situ, menumpang armada tikus, wabah segera menyebar ke seantero Asia, Eropa, Afrika Utara dan pesisir Atlantik,” ujar Marwan mantan Ketua Fraksi PKB di DPR kepada SINDOnews, Rabu (17/6/2020).
“Antara 75 juta 200 juta orang mati. Lalu pada Maret 1520, muncul virus cacar (smallpox) dari Pulau Kuba yang juga cepat menyebar ke Meksiko. Puluhan ribu mayat membusuk tergeletak di jalan-jalan, karena tak seorang pun berani menguburkan. Hanya dua bulan, penduduk Meksiko dari 22 juta di Desember tinggal 14 juta yang masih hidup,” sambungnya.
Dia menjelaskan dua abad kemudian (Januari 1778), penjelajah Inggris James Cook mendarat di Hawaii. Kepuluan ini sejatinya hidup terisolasi. Dan Cook plus rombongan membawa flu pertama, tubercolosis dan sipilis ke Hawaii. Para pendatang Eropa selanjutnya menambahkan typhus dan cacar. Dari semula berpenduduk 500 ribu jiwa pada 1853 tinggal 70 ribu orang Hawaii yang selamat.
Memasuki abad 20, epidemi terus merenggut puluhan juta jiwa manusia. Di tengah kecamuk Perang Dunia I, ribuan tentara yang dikirim dari Arkansas, Amerika dan Inggris tiba di Spanyol di Januari 1918. Di parit-parit Perancis, ribuan tentara pula mulai mati akibat serangan satu galur flu sangat ganas yang dijuluki “Flu Spanyol”.
Pada beberapa bulan kemudian sekitar 500 juta atau sepertiga populasi global penduduk waktu itu roboh terserang virus. Atau kurang dari setahun, wabah itu mencabut nyawa antara 50 juta hingga 100 juta orang.
“Di awal abad 21 dan milenium ketiga sekarang, kita pernah dikhawatirkan karena beberapa ledakan potensial wabah baru. Misalnya, SARS pada tahun 2002/2003, lalu Flu Burung di tahun 2005, menyusul Flu Babi pada tahun 2009/2010 serta wabah Ebola di tahun 2014-2016. Dan sejak September 2019 kita harus berjuang melawan virus Corona hingga sekarang, belum tahu kapan berakhir.”
“Terkait sejarah wabah ini, kabar baiknya berkat pencapaian kedokteran, adanya vaksinasi, antibiotik, teknologi kesehatan atau infrastruktur medis lebih baik, pada 1979 WHO mendeklarasikan virus cacar cacar telah dilenyapkan penuh. Juga epidemi Ebola yang semula tampak menggila, pada Januari 2016 dinyatakan selesai oleh WHO,” lanjutnya.
Marwan yang juga mantan Mendes PDTT ini mengingatkan masyarakat untuk pandai memetik pelajaran dari serentetan sejarah wabah tersebut. Solusinya, kata dia, kerangka berpikir (mindset) maupun bertindak masyarakat di tingkat individu, komunitas hingga jajaran pemerintah tidak perlu dihinggapi khawatir berlebihan, membiasakan disiplin perilaku kesehatan, bergotong-royong saling menolong serta tetap bekerja profesional di bidang masing-masing.
“Kita percaya kemajuan ilmu pengetahuan, ketekunan ilmuwan di beberapa laboratorium dan kemajuan bioteknologi memungkinkan kita mengalahkan virus dan bakteri,” pungkasnya.