Kuburan Massal 1965 di Semarang Masuk Situs CIPDH-UNESCO
NAGALIGA — Kuburan massal aksi pembantaian 1965 di Desa Plumbon, Kelurahan Mangkang Kulon, Semarang, mencuri perhatian dunia dengan dicatat sebagai situs memori yang memiliki edukasi Hak Asasi Manusia (HAM) oleh The International Center for the Promotion of Human Rights (CIPDH), yang berada di bawah naungan badan PBB, UNESCO.
Kabar ketertarikan tim CIPDH-UNESCO diawali surel yang dikirim ke Ketua Perkumpulan Masyarakat Semarang untuk Hak Asasi Manusia (PMS-HAM) Yunantyo Adi, pada Mei 2019 lalu. Mereka meminta kelengkapan data, foto dan video terkait temuan kuburan Plumbon.
“Awalnya saya dikirimi email dari mereka yang minta kelengkapan data, berikut foto dan video tentang temuan kuburan Plumbon. Ya sudah, saya balas, dengan mengirimkannya,” ungkap Yunantyo
“Pertengahan Januari kemarin, saya lewat email dikirimi link yang saya buka berjudul Plumbon Mass Grave dan disitu menjadikan makam Plumbon sebagai situs memori HAM,” ujar Yunantyo.
Pada laman tersebut ditulis deskripsi lokasi,’di kota Plumbon, Indonesia, ada sebuah monumen dengan nama-nama orang yang menjadi korban represi pemerintah selama periode 1965-1966. Pemakaman massal Plumbon dapat diidentifikasi dengan sebuah plakat persegi panjang bertuliskan nama sembilan orang yang dibunuh, dan dimakamkan di kuburan massal pada tahun 1965.’
Makam Plumbon masuk dalam kategori situs persekusi politik bersama kuburan massal Priaranza del Bierzo di Spanyol dan Space for Memory and for the Promotion and Defense of Human Rights (Former ESMA) di Argentina.
“Bagi UNESCO, makam Plumbon memiliki kelebihan dari kuburan massal di Spanyol dan Argentina. Di Plumbon ada partisipasi keterlibatan masyarakat, tokoh Lintas Agama hingga Pemerintah dan Aparat setempat. Terbukti, saat meresmikan Nisan makam Plumbon, sejumlah kalangan itu hadir dan melakukan doa bersama”, tambah Yunantyo kepada CNN Indonesia.
Yunantyo mengatakan CIPDH-UNESCO memang memiliki memperoleh pengetahuan tentang bagaimana masyarakat berurusan dengan masa lalu mereka, kebijakan publik apa yang diberlakukan untuk menjaga memori dan untuk mengumumkannya, serta kesepakatan dan konsensus apa yang memungkinkan ingatan ini dikenal.
Organisasi itu mendata berbagai warisan meliputi arsip, warisan budaya tak benda, monumen, museum dan situs dengan tema perbudakan, genosida dan atau kejahatan massal, konflik bersenjata, dan persekusi politik.
Dikutip dari laman CIPDH-UNESCO, disebutkan organisasi itu berdiri pada 2009 silam sebagai lembaga sayap pertama UNESCO di dunia yang bertujuan mempromosikan HAM.
Tercatatnya makam Plumbon oleh organisasi sayap UNESCO itu pun mendapatkan apresiasi dari warga desa tersebut. Salah satunya, Kelik. Sosok yang karib disapa Mbah Kelik itu berterima kasih atas perhatian dunia kepada situs yang ada di sekitar desanya. Mbah Kelik pun meminta Pemerintah bisa menindaklanjuti dengan menggarap makam Plumbon menjadi lebih baik, termasuk menjadikannya sebagai wisata sejarah.
“Ya senang, ya bangga. Sebuah makam di desa saya diakui UNESCO, diakui dunia. Makanya saya minta warga lain untuk merawatnya. Kepada Pemerintah, mohon bisa digarap diangkat menjadi tempat wisata sejarah”, ujar Mbah Kelik.
Penemuan makam Plumbon sendiri berawal dari informasi warga pada 2014 silam ketika penggiat HAM di Semarang yang tergabung dalam PMS-HAM melakukan penelusuran dan penggalian data terhadap keberadaan kuburan massal aksi pembantaian 1965.
Salah satu warga yang sempat menjadi saksi hidup. Mbah Sukar (78), menceritakan singkat bagaimana situasi eksekusi di dalam hutan belantara Desa tempat tinggalnya. Mbah Sukar bahkan diminta aparat saat itu untuk mengubur jenasah warga yang telah dieksekusi secara bersamaan pada tahun tragedi tersebut.
Saat ditemukan, kuburan massal itu dulunya berbentuk tiga lubang sumur dengan diameter 2 meter dan kedalaman 2 meter. Namun oleh aparat, yang digunakan akhirnya dua lubang sumur.
“Ada sekitar 24 orang dari daerah Kendal. Mereka diturunkan dari truk dalam kondisi mata tertutup dengan tangan dan kaki yang diikat secara bergandengan satu sama lain. Ketika sampai di titik lokasi, warga diberondong tembakan hingga tewas. Saya kemudian disuruh menguburnya dimasukkan dalam sumur”, kata Mbah Sukar mengenang apa yang terjadi pada 1960an silam.
Dari 24 orang yang dieksekusi di hutan Plumbon, para penggiat HAM hanya mendapat 8 nama yang teridentifikasi. Mereka adalah Mutiah, Susatyo, Darsono, Sahroni, Yusuf, Sukandar, Dulkamid dan Surono, yang keseluruhan warga Kendal. Delapan nama tersebut yang akhirnya ditulis pada nisan yang didirikan di atas kuburan Plumbon sebagai tanda lokasi.
SUMBER: