KPAI: Guru Olahraga Pelaku Terbanyak Kekerasan Seksual Siswa
NAGALIGA — Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebut pelaku kekerasan seksual di lingkungan pendidikan sepanjang 2019 didominasi oleh guru, khususnya guru mata pelajaran olahraga.
Pihaknya menerima laporan 21 kasus dengan 123 anak yang jadi korban pada 2019. Pelaku jenis kekerasan ini juga didominasi oleh guru terhadap siswa.
“Pelaku ada 21 orang yang terdiri dari 20 laki-laki dan 1 perempuan. Adapun pelaku mayoritas adalah guru (90 persen) dan kepala sekolah (10 persen),” kata dia, dalam keterangan tertulisnya, Senin (30/12).
Berdasarkan jenis kelaminnya, para pelaku itu terdiri dari 20 laki-laki dan 1 perempuan, dengan korban 71 anak perempuan dan 52 anak laki-laki.
Ilustrasi pelecehan seksual. (Istockphoto/KatarzynaBialasiewicz)
|
Kasus-kasus itu, paparnya, untuk Sekolah dasar (SD), terjadi di kecamatan Lembak, Muara Enim, Ogan Komering Ilir (Sumatera Selatan); kecamatan Ujanmas, Muara Enim (Sumsel); kecamatan Klego, Boyolali (Jawa Tengah); kabupaten Majene (Sulawesi Barat); Pontianak (Kalimantan Barat); Payakumbuh, kabupaten Limapuluh Kota (Sumatera Barat); dan di kota Malang, kabupaten Lamongan dan kota Surabaya (Jawa Timur); Batam (Kepri); dan Jakarta Utara (DKI Jakarta).
Adapun di jenjang SMP dan SMA, kekerasan seksual juga dilakukan oknum guru di kecamatan Cikeusal, Serang (Banten), di Tanete, Bulukumba (Sulawesi Selatan), Padangtualang, Langkat (Sumatera Utara), Buleleng (Bali),kota Malang (Jawa Timur), kota Batam dan Tanjung Pinang (Kepulauan Riau).
Retno mengatakan modus para guru itu adalah dengan memanfaatkan kewenangan guru dalam hal jam belajar tambahan, jam istirahat, serta saat ganti pakaian olahraga.
Salah satu bentuk ancamannya, kata Retno, adalah “korban diancam mendapatkan nilai jelek.”
Kekerasan Fisik
Selain kekerasan seksual, KPAI juga mencatat pelaku kekerasan fisik terhadap siswa didominasi oleh guru. Penyebabnya, ada keterbatasan pengetahuan pihak sekolah dalam mendisiplinkan anak.
Retno mengungkap kekerasan guru atau kepala sekolah terhadap siswa mendominasi (44 persen). Kasusnya diikuti oleh kekerasan siswa terhadap siswa (30 persen), siswa ke guru (13 persen), dan kekerasan orang tua siswa kepada guru (13 persen).
“Kasus kekerasan guru/kepala sekolah ke peserta didik sebanyak 44 persen,” ujarnya.
Retno memaparkan bentuk kekerasan fisik oleh guru terhadap siswa antara lain mencubit, memukul/menampar, membentak dan memaki, menjemur di terik matahari, dan memberi hukuman lari keliling lapangan sekolah.
Sedangkan kekerasan siswa terhadap sesama siswa umumnya dilakukan secara bersama-sama (pengeroyokan) dengan cara di pukul, ditampar dan ditendang. Sedangkan bentuk kekerasan siswa ke guru adalah di pukul, di-bully, di videokan kemudian diunggah ke media social, dan ditikam dengan pisau.
“Para pelaku mayoritas melakukan kekerasan di ruang kelas. Namun, ada juga yang di lakukan ruang kepala sekolah, di lapangan/halaman sekolah, di kebon belakang sekolah, dan aula sekolah,” tuturnya.
Dalih guru melakukan kekerasan fisik itu, kata Retno, adalah mendisiplinkan siswa. Sementara, alasan siswa melakukan kekerasan terhadap sesame siswa adalah untuk membalas dendam dan sengaja adu kekuatan (gladiator) karena perintah siswa senior.
“KPAI masih menemukan fakta bahwa banyak guru dan banyak sekolah hanya tahu cara menangani siswa yang dianggap ‘nakal’ adalah dengan menghukum fisik. Mendidik dan mendisiplinkan siswa diyakini hanya bisa dilakukan dengan kekerasan berupa hukuman,” urainya.
“Padahal pendekatan kekerasan dalam mendisiplinkan siswa akan berdampak buruk bagi tumbuh kembang anak, selain itu tidak akan membuat si anak menghentikan perilakunya,” Retno menambahkan.