Kompol Rossa Banding ke Jokowi Usai Surat Keberatan Ditolak
NAGALIGA — Kompol Rossa Purbo Bekti disebut tidak menerima keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas surat keberatan yang dilayangkannya. Ia lantas mengajukan banding ke Presiden Joko Widodo.
“Jadi, Mas Rossa sudah terima jawaban dari pimpinan, kemudian berikutnya Mas Rossa mengajukan kembali upaya banding ke Presiden RI [Joko Widodo]. Karena memang mekanisme UU-nya demikian, per tanggal 24 Februari 2020,” kata Pelaksana Tugas Juru Bicara Penindakan KPK, Ali Fikri, di Kantornya, Jakarta, Jum’at (28/2) malam.
Ali mengatakan pihaknya menghormati langkah yang ditempuh mantan pegawai lembaganya tersebut. Sebab, menurut dia, hal itu sesuai dengan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
“Tentu, karena ini ketentuan UU yang ada bahwa setiap masyarakat di sana disebutkan, termasuk Mas Rossa merasa harus perjuangkan haknya, tentu kita harus hormati proses tersebut,” ucapnya.
KPK sebelumnya memutuskan bahwa surat keberatan Rossa salah alamat. Lembaga antirasuah itu kukuh Rossa berstatus sebagai anggota Polri yang secara hukum kepegawaian dan pembinaan kariernya masih melekat dan tetap tunduk kepada sistem kepegawaian anggota Polri.
“Pada prinsipnya berisi bahwa keberatan dari Mas Rossa tersebut tidak dapat diterima karena di sini disebutkan salah alamat,” ujar Ali.
Pengembalian Rossa ke instansi asalnya, Mabes Polri, sempat menuai polemik. Bahkan, Wadah Pegawai KPK telah melaporkan Firli Bahuri Cs ke Dewan Pengawas KPK.
Ketua WP KPK, Yudi Purnomo Harahap, menuturkan bahwa terdapat dugaan tindakan yang tidak sesuai dengan prosedur dan berpotensi melanggar etik terhadap pengembalian Rossa.
Yudi menilai pengembalian itu tidak sesuai mekanisme yang berlaku. Pasalnya, menurut Yudi, masa bakti Rossa di KPK habis pada September 2020.
Rossa, kata Yudi, juga tidak pernah dinyatakan melakukan pelanggaran etik yang notabene menjadi unsur pengembalian paksa ke instansi asal.
“Bahwa terdapat dugaan tindakan yang tidak sesuai dengan prosedur dan bahkan berpotensi melanggar etik khususnya jaminan agar KPK dapat menjalankan fungsi secara independen,” kata Ketua WP KPK, Yudi Purnomo Harahap, kepada wartawan di Kantornya, Jakarta, Jum’at (7/2).