Ketua KPK: 2019 Merupakan Tahun yang Sangat Berat
NAGALIGA — Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo mengungkapkan tahun 2019 merupakan periode terberat yang dijalani dalam mengemban tugas sebagai pimpinan lembaga antirasuah tersebut.
Ia tak secara gamblang menjelaskan kendala apa saja yang telah dihadapi. Namun, berkaca pada pemberitaan sebelumnya, lembaga antirasuah itu dihadapkan kepada Revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang dinilai memperlemah kinerja.
Bahkan, secara internal KPK telah mengidentifikasi 26 poin krusial yang ada di dalam aturan baru atau UU Nomor 19 tahun 2019.Poin-poin itu di antaranya adalah status KPK sebagai lembaga negara di rumpun eksekutif dan pegawai KPK merupakan ASN; penghapusan Pimpinan sebagai penanggungjawab tertinggi; hingga kewenangan dewan pengawas masuk pada teknis penanganan perkara, yakni memberikan atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.
Diketahui Agus bersama dua pimpinan lain– Laode M. Syarif dan Saut Situmorang juga telah mengajukan gugatan formil atas UU Nomor 19 Tahun 2019 ke Mahkamah Konstitusi.
“Tadi disebutkan memang tahun 2019 adalah tahun yang sangat berat, tapi kita harus selalu optimis, kita harus berjuang terus, saling mengingatkan jangan lupa korupsi masih berjangkit dengan begitu luar biasanya di negeri ini,” ujar Agus saat memberi sambutan dalam acara ‘Malam Penghargaan Anticorruption Film Festival 2019 dan Dongeng Kebangsaan’ di kawasan Kuningan, Jakarta, Minggu (8/12) malam.
Kritik atas Grasi Jokowi untuk Napi TipikorMantan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) itu pun mencoba berprasangka baik dengan menyebut Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) memiliki strategi lain dalam memberantas korupsi.
“Mungkin kita juga perlu merenung, jangan-jangan ada strategi baru yang pingin diperkenalkan oleh panglima pemberantasan korupsi kita. Kita bicara panglima selalu panglimanya adalah Presiden, kemudian wakilnya adalah Wakil Presiden,” kata Agus.
“Oleh karena itu kita harapkan dengan strategi yang baru, mudah-mudahan nanti hasilnya memang kelihatan. Oleh karena itu, kita yang di KPK, dari civil society maupun seluruh komponen bangsa dalam mengontrol, harus selalu mengingatkan bahwa perjuangan kita masih panjang,” sambungnya.
Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK Giri Suprapdiono, mengungkapkan kendala berat bagi pihaknya tahun ini di antaranya terkait isu radikalisme, taliban, teror kepada pegawai KPK yang salah satunya penyiraman air keras terhadap penyidik Novel Baswedan. Meskipun begitu, ia meyakini semangat pemberantasan korupsi pihaknya tak surut sedikit pun.
“Aturan bisa direvisi, namun semangat kami tidak bisa direvisi,” tegas dia.
Sementara itu, di tempat dan waktu terpisah, sebelumnya Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menyatakan Presiden Jokowi tidak elegan karena memberikan grasi dengan alasan kemanusiaan kepada narapidana korupsi, khususnya bagi mantan Gubernur Riau Annas Maamun.
Dia mengatakan Jokowi seharusnya memperbaiki kondisi fasilitas di lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan yang ditempati narapidana kasus korupsi lanjut usia dan membutuhkan perawatan medis.
“Jangan Anda menyelesaikan sesuatu tapi menimbulkan masalah yang lain. Padahal Anda sebenarnya punya obat lain yang bisa membuat anda tetap elegan di dalam memberantas korupsi,” ujar Saut dalam diskusi di Jakarta, Minggu (8/12).
Saut menuturkan grasi kepada narapidana karena alasan sudah tua dan sakit tidak tepat. Sebab, kata Saut, seluruh narapidana bisa tetap mendekam di dalam penjara jika seluruh fasilitas yang tertuang dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 32 Tahun 2018 tentang Perlakuan Bagi Tahanan Dan Narapidana Lanjut Usia diimplementasikan.
Dalam pasal 8 ayat (1) Permenkumham Nomor 32/2018 disebutkan bahwa untuk mendukung perlakuan khusus bagi tahanan atau narapidana lansia tidak berdaya dilakukan pemenuhan terhadap sarana dan prasarana khusus di dalam rutan atau lapas.
Dalam ayat (2) aturan itu disebutkan sarana dan prasarana yang disediakan paling sedikit terdiri dari kursi roda; jalan ramp; toilet duduk; akses ke, dari, dan di dalam bangunan; pegangan tangan pada tangga, dinding, dan kamar mandi; hingga tanda peringatan darurat atau sinyal.
“Sebenarnya fasilitas-fasilitas itu yang harus kita selesaikan. Bahwa yang bersangkutan pun tinggal di penjara dengan tinggal di rumah harus sama,” ujarnya.
Di sisi lain, Saut menyampaikan isu utama berbangsa dan bernegara adalah keadilan. Dia berkata kepemimpinan nasional tidak akan bisa mengarahkan warganya jika tidak adil. Dia mencontohkan pemerintah perlu membangun fasilitas kesehatan yang memadai di dalam lapas atau rutan guna merawat narapidana yang sakit.
Oleh karena itu, Saut pun menilai tidak adanya kemauan untuk menyediakan fasilitas di dalam lapas atau rutan hanya merupakan pembenaran untuk memberikan grasi.
“Jadi jangan melihat dari sisi yang sempit. Nah kalau kita mau kembali ke definisi zero tolerance akhirnya orang asing melihat bahwa kita sangat toleran terhadap perilaku ini (korupsi) dengan menjustifikasi kita tidak dapat merawat orang ini (narapidana lansia dan sakit) di penjara,” ujarnya.
Saut menuturkan grasi atau remisi tidak boleh diberikan hanya berdasarkan satu pendekatan. Dia meminta pendekatan lain juga harus dijadikan alasan dalam memberikan grasi atau remisi.
“Jangan hanya teori keadilan, banyak teori lain yang bisa kita gunakan. Dan saya pikir kalau itu tidak kita lakukan secara komprehensif ya kita akan jatuh dari satu rezim ke rezim lain tapi perubahan itu tidak ada,” ujar Saut.
Lebih dari itu, Saut mengingatkan Jokowi selaku presiden harus menjadi ujung tombak dalam memberantas korupsi. Jika tidak serius, publik tidak akan konsisten memberikan dukungan.
“Korupsi adalah extraordinary crime dan untuk Indonesia angkanya 38 dari skala 1 sampai 100 yang ini kalau (tidak) ditata secara detil akan menimbulkan masalah-masalah lain,” ujarnya.