Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Seharusnya Bertahap
JAKARTA – Ahli kesehatan masyarakat Hasbullah Thabrany mengungkapkan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sejak awal menderita kekurangan dana. Masalah itu, menurutnya, hanya punya dua jalan penyelesaian, yakni menaikkan iuran dan pemerintah memberikan hibah ke BPJS Kesehatan.
“Salah satu sumbernya harus dinaikkan iurannya, enggak ada pilihan lain,” ucapnya saat dihubungi SINDOnews, Kamis (14/5/2020).
Lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 Tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan, pemerintah menaikkan iuran peserta mandiri kelas I dan Kelas II. Untuk Kelas I Rp150.000 dan Kelas II Rp100.000. Nilai itu hanya berselisih Rp10.000 dari kenaikan iuran pada awal tahun.
Khusus Kelas III sementara ini tetap, tapi awal tahun depan iurannya Rp35.000 per bulan. Keputusan pemerintah dianggap tidak sejalan dengan putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan kenaikan iuran pada akhir Februari lalu. Pemerintah juga tidak peka terhadap kondisi ekonomi masyarakat yang sedang terpuruk karena pandemi Covid-19.
Hasbullah mengusulkan kenaikan iuran itu dilakukan bertahap dengan besaran 30 persen per tahun agar tidak membebani masyarakat. Hitungannya, iuran BPJS Kesehatan yang ideal itu sekitar tiga kali lipat dari nilai sekarang. Artinya, Kelas I itu sekitar Rp480.000 per bulan.
“Baru bisa kasih pelayanan yang bagus. Orang happy, rumah sakit happy, dan dokter happy. Kalau semua irit-irit, semua enggak ada yang happy. Semua mengeluh,” terangnya.
Dia mengkritik putusan MA yang membatalkan kenaikan iuran. MA, menurut dia, yurisdiksinya menilai apakah sebuah peraturan pemerintah bertentangan dengan undang-undang (UU) atau tidak. Dia menuturkan kenaikan iuran secara berkala diperbolehkan dalam UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
“Enggak ada yang bertentangan. Kalau seberapa besarnya (kenaikan) bukan kewenangan MA. Itu kewenangan eksekutif (menghitung) berapa kebutuhannya,” pungkasnya.