Faisal Basri Ungkap Tanda RI Alami Deindustrialisasi
Jakarta — Ekonom Senior INDEF Faisal Basri mengungkap tanda-tanda deindustrialisasi Indonesia di tengah sorotan atas kinerja Menteri Perindustrian Agus Gumiwang yang buruk.
“Industri di Indonesia ini peranannya merosot terus, tidak pernah pertumbuhannya lebih tinggi dari pertumbuhan produk domestik bruto (PDB). Share-nya tinggal 18,6 persen, turun terus, gejala dini deindustrialisasi karena industrinya diganggu melulu,” kata Faisal dalam Diskusi Publik INDEF di Jakarta Selatan, Selasa (16/7).
“Saya takutnya intervensi, rapat diambil alih dari menteri perdagangan, gitu-gitu,” tambahnya.
Hal mencolok yang ditentang Faisal adalah intervensi kekuatan besar di industri keramik. Ia menduga ada permainan pejabat yang notabene tidak terkait langsung dengan masalah perindustrian dan perdagangan.
Buah intervensi itu terlihat dari hasil penyelidikan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) Kementerian Perdagangan. Menurutnya, perhitungan yang menghasilkan rencana pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) 100 persen-199 persen merupakan ‘pesanan’.
Faisal menegaskan pemerintah seakan-akan hanya mencari kambing hitam di balik lesunya industri tanah air. Pada akhirnya, China menjadi sasaran pemungutan BMAD hingga hampir 200 persen.
“Ada yang unik dari kajian KADI, tidak ada covid, seolah-oleh covid itu tidak pernah terjadi. Padahal, covid itu memorak-porandakan termasuk industri yang terjadi di periode Juli 2019. Kalau di China sudah ada covid itu, di Indonesia 2020 resminya,” kritik Faisal soal laporan investigasi KADI.
“Makanya ada peningkatan impor (keramik) dari China (pada) Juli 2021-Juni 2022, ya recovery semua. Kan sudah recovery dibandingkan dengan masa covid, jadi ya naiklah (impor keramik). Ampun deh, seluruh perekonomian seperti itu … Ini kan fenomena covid, jangan semua disalahkan ke China, China, China, gitu,” tambahnya geram.
Ia mencontohkan bagaimana kondisi industri keramik saat ini, di mana produsen dalam negeri masih mandek di keramik merah. Sementara itu, pasar membutuhkan keramik lain berjenis porselen, misalnya untuk di hotel hingga bandara.
Oleh karena itu, kebutuhan keramik yang tak sanggup dibuat produsen dalam negeri harus diimpor dari luar.
“Mayoritas di Indonesia itu keramik merah … Jadi belum bisa memenuhi industri dalam negeri juga, industri dalam negeri tidak bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri,” tegas Faisal.
“Pukul rata mau ukuran berapa saja dikenakan bea masuk tinggi (BMAD), ini KADI seperti jurus pesilat mabuk, semua dilibas … Apa saja diterjang, dicari untuk menjustifikasi itu, supaya keluarnya (BMAD) 100 persen sampai hampir 200 persen,” kritiknya.
Sorot kinerja menteri perindustrian
Di lain sisi, Faisal Basri menyoroti peran Kementerian Perindustrian. Ia mempertanyakan kinerja Menperin Agus Gumiwang yang tak terlihat mengurus industri.
Ia menegaskan industri tanah air sedang limbung alias goyah. Faisal mengatakan nasib buruk tersebut dialami seluruh sektor industri di Indonesia, bukan hanya keramik.
“Banyak perusahaan bangkrut, bukan hanya keramik. Banyak yang bangkrut, tekstil bangkrut. Belum bisa pulih dari covid-19, program restrukturisasinya sudah selesai, yang ndak bisa restrukturisasi ya sudah dia bangkrut, dijual,” tuturnya.
“Bukan hanya di keramik. Orang menterinya (Menperin Agus Gumiwang) sibuk kampanye, petinggi Golkar, mana ngurusin? Anda pernah dengar menteri perindustrian bikin pernyataan? Jarang dia, mungkin gak semua Anda tahu nama menteri perindustrian siapa,” sindir Faisal kepada Menperin Agus.
Selain itu, Faisal mengkritik industri di Indonesia yang tidak terdiversifikasi.
Ini tergambarkan dari sumbangsih beberapa sektor terhadap PDB industri non-migas. Misalnya, sumbangan industri makan dan minuman yang menyumbang 39,1 persen
“Ditambah dengan industri kimia dan farmasi jadi 49,6 persen. Jadi, dua jenis industri dari 15 (jenis industri) sudah menyumbang separuhnya dari industri non-migas,” bebernya.
“(Pemberian bea tambahan berujung kenaikan harga keramik) Konsumen kapok, ‘Sudah deh gak usah pakai porselen, pakai parket saja dari kayu. Atau diplester, disemen saja. Gak usah renovasi dulu karena harganya mencekik’. Akhirnya, pada bertumbangan itu nanti industri,” wanti-wanti Faisal.
Faisal menyebut industri keramik yang saat ini bangkrut karena kalah bersaing dengan sesama kompetitor dalam negeri. Ia menilai faktor utamanya bukan berasal dari impor China, yang menurutnya sama sekali tak ada banjir keramik.
Ia menegaskan bukan berarti pro-China. Faisal menekankan dirinya murni tidak suka dengan kebijakan ngawur Pemerintah Indonesia.
“Saya paling gak suka kalau kebijakannya ngawur, apapun saya kritik. Kalau kebijakannya ngawur merugikan rakyat banyak, menguntungkan segelintir orang,” tandasnya.
“Industri di Indonesia ini peranannya merosot terus, tidak pernah pertumbuhannya lebih tinggi dari pertumbuhan produk domestik bruto (PDB). Share-nya tinggal 18,6 persen, turun terus, gejala dini deindustrialisasi karena industrinya diganggu melulu,” kata Faisal dalam Diskusi Publik INDEF di Jakarta Selatan, Selasa (16/7).
“Saya takutnya intervensi, rapat diambil alih dari menteri perdagangan, gitu-gitu,” tambahnya.
Hal mencolok yang ditentang Faisal adalah intervensi kekuatan besar di industri keramik. Ia menduga ada permainan pejabat yang notabene tidak terkait langsung dengan masalah perindustrian dan perdagangan.
Buah intervensi itu terlihat dari hasil penyelidikan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) Kementerian Perdagangan. Menurutnya, perhitungan yang menghasilkan rencana pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) 100 persen-199 persen merupakan ‘pesanan’.
Faisal menegaskan pemerintah seakan-akan hanya mencari kambing hitam di balik lesunya industri tanah air. Pada akhirnya, China menjadi sasaran pemungutan BMAD hingga hampir 200 persen.
“Ada yang unik dari kajian KADI, tidak ada covid, seolah-oleh covid itu tidak pernah terjadi. Padahal, covid itu memorak-porandakan termasuk industri yang terjadi di periode Juli 2019. Kalau di China sudah ada covid itu, di Indonesia 2020 resminya,” kritik Faisal soal laporan investigasi KADI.
“Makanya ada peningkatan impor (keramik) dari China (pada) Juli 2021-Juni 2022, ya recovery semua. Kan sudah recovery dibandingkan dengan masa covid, jadi ya naiklah (impor keramik). Ampun deh, seluruh perekonomian seperti itu … Ini kan fenomena covid, jangan semua disalahkan ke China, China, China, gitu,” tambahnya geram.
Ia mencontohkan bagaimana kondisi industri keramik saat ini, di mana produsen dalam negeri masih mandek di keramik merah. Sementara itu, pasar membutuhkan keramik lain berjenis porselen, misalnya untuk di hotel hingga bandara.
Oleh karena itu, kebutuhan keramik yang tak sanggup dibuat produsen dalam negeri harus diimpor dari luar.
“Mayoritas di Indonesia itu keramik merah … Jadi belum bisa memenuhi industri dalam negeri juga, industri dalam negeri tidak bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri,” tegas Faisal.
“Pukul rata mau ukuran berapa saja dikenakan bea masuk tinggi (BMAD), ini KADI seperti jurus pesilat mabuk, semua dilibas … Apa saja diterjang, dicari untuk menjustifikasi itu, supaya keluarnya (BMAD) 100 persen sampai hampir 200 persen,” kritiknya.
Sorot kinerja menteri perindustrian
Di lain sisi, Faisal Basri menyoroti peran Kementerian Perindustrian. Ia mempertanyakan kinerja Menperin Agus Gumiwang yang tak terlihat mengurus industri.
Ia menegaskan industri tanah air sedang limbung alias goyah. Faisal mengatakan nasib buruk tersebut dialami seluruh sektor industri di Indonesia, bukan hanya keramik.
“Banyak perusahaan bangkrut, bukan hanya keramik. Banyak yang bangkrut, tekstil bangkrut. Belum bisa pulih dari covid-19, program restrukturisasinya sudah selesai, yang ndak bisa restrukturisasi ya sudah dia bangkrut, dijual,” tuturnya.
“Bukan hanya di keramik. Orang menterinya (Menperin Agus Gumiwang) sibuk kampanye, petinggi Golkar, mana ngurusin? Anda pernah dengar menteri perindustrian bikin pernyataan? Jarang dia, mungkin gak semua Anda tahu nama menteri perindustrian siapa,” sindir Faisal kepada Menperin Agus.
Selain itu, Faisal mengkritik industri di Indonesia yang tidak terdiversifikasi.
Ini tergambarkan dari sumbangsih beberapa sektor terhadap PDB industri non-migas. Misalnya, sumbangan industri makan dan minuman yang menyumbang 39,1 persen
“Ditambah dengan industri kimia dan farmasi jadi 49,6 persen. Jadi, dua jenis industri dari 15 (jenis industri) sudah menyumbang separuhnya dari industri non-migas,” bebernya.
“(Pemberian bea tambahan berujung kenaikan harga keramik) Konsumen kapok, ‘Sudah deh gak usah pakai porselen, pakai parket saja dari kayu. Atau diplester, disemen saja. Gak usah renovasi dulu karena harganya mencekik’. Akhirnya, pada bertumbangan itu nanti industri,” wanti-wanti Faisal.
Faisal menyebut industri keramik yang saat ini bangkrut karena kalah bersaing dengan sesama kompetitor dalam negeri. Ia menilai faktor utamanya bukan berasal dari impor China, yang menurutnya sama sekali tak ada banjir keramik.
Ia menegaskan bukan berarti pro-China. Faisal menekankan dirinya murni tidak suka dengan kebijakan ngawur Pemerintah Indonesia.
“Saya paling gak suka kalau kebijakannya ngawur, apapun saya kritik. Kalau kebijakannya ngawur merugikan rakyat banyak, menguntungkan segelintir orang,” tandasnya.