DPR Sebut Tudingan WSJ kepada NU dan Muhammadiyah soal Uighur Politis
JAKARTA – Tudingan the Wall Street Journal (WSJ) terhadap sejumlah ormas Islam di Indonesia seperti NU dan Muhammadiyah, serta Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang disebut bersikap diam terkait kasus persekusi yang dialami Muslim Uighur di wilayah Xinjiang, China, karena disebut telah menerima bantuan dan donasi oleh Pemerintah China ditanggapi Anggota Komisi I DPR Willy Aditya.
Politikus Partai Nasdem itu berpendapat tudingan yang diarahkan kepada kedua ormas Islam itu bersifat politis. Menurutnya, kedua ormas tersebut justru adalah representasi Muslim Indonesia dalam mewujudkan perdamaian dunia.
Keduanya juga pernah melakukan observasi dan mengumpulkan langsung data dan fakta terkait masalah di Uighur. Mereka bahkan berhasil mendesak pembukaan akses kunjungan ke fasilitas yang disebut kem konsentrasi oleh media barat yang selama ini tertutup.
”Kedua ormas terbesar itu justru menunjukkan kelasnya sebagai aktor menjaga perdamaian dunia. Mereka sangat berhati-hati dalam bersikap dan mengesampingkan tendensi dan kepentingan pragmatis. Justru dengan tingginya interaksi dengan pemerintah China, Indonesia bisa mengajak China menemukan solusi-solusi damai,” ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Selasa (17/12/2019).
Willy menegaskan, Indonesia harus menjadi bagian dari solusi dalam upaya penyelesaian masalah Uighur. Seperti halnya dalam kasus Rohingya, menurutnya Indonesia harus mencari cara agar China berani semakin terbuka terhadap apa yang dituduhkan dalam kasus di atas.
”Tapi kita tidak bisa gagah-gagahan dalam menyikapi Uighur di China ini. Mendukung maupun mengecam hanya akan menjebak Indonesia dalam polarisasi yang justru memperkeruh suasana. Kasus Uighur ini harus dilihat dari banyak sudut pandang,” tandasnya.
Dia menjelaskan, masalah Uighur harus dilihat dari konteks kesejarahan yang menyertainya. Selain itu, dialektika perang dagang antara AS dengan China juga tidak bisa dinafikan. Belum lagi ancaman terorisme, juga membayangi hubungan antara Beijing dengan negara bagian Tiongkok di wilayah barat ini.
“Ada konteks resistensi dan politik budaya, bahasa yang juga diekspresikan oleh Uighur terhadap Pemerintahan China. Hal ini dihadapi oleh Pemerintah China dengan isu radikalisme, separatisme hingga terorisme. Jadi bukan cuma konteks keagamaan saja yang terjadi,” terangnya.
Sebelumnya, Pimpinan Pusat Muhammadiyah mendesak China menghentikan segala bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) khususnya kepada etnis Muslim Uighur di Xinjiang.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti menyesalkan pemberitaan WSJ yang menyebutkan adanya fasilitas dan lobi-lobi Pemerintah China terhadap PP Muhammadiyah, PBNU dan MUI sebagai upaya mempengaruhi sikap politik Muhammadiyah, NU dan MUI atas permasalahan HAM di Xinjiang.
Mu’ti menegaskan pemberitaan tersebut sangat tidak berdasar dan fitnah yang merusak nama baik Muhammadiyah, NU dan MUI. “Pimpinan Pusat Muhammadiyah mendesak agar Wall Street Journal meralat berita tersebut dan meminta maaf kepada warga Muhammadiyah. Apabila hal tersebut tidak dipenuhi, Muhammadiyah akan mengambil langkah hukum sebagaimana mestinya,” tegasnya.
Kedua, mendesak Pemerintah China untuk lebih terbuka dalam memberikan informasi dan akses masyarakat internasional mengenai kebijakan di Xinjiang dan masyarakat Uighur. Pemerintah China agar menghentikan segala bentuk pelanggaran hak asasi manusia khususnya kepada masyarakat Uighur atas dalih apapun.
“Pemerintah China hendaknya menyelesaikan masalah Uighur dengan damai melalui dialog dengan tokoh-tokoh Uighur dan memberikan kebebasan kepada muslim untuk melaksanakan ibadah dan memelihara identitas,” kata Mu’ti.