Budayakan Pakai Masker untuk Redam Penyebaran Covid-19
JAKARTA – Pemakaian masker perlu menjadi kesadaran dan cara hidup bersama. Budaya baru ini urgen lantaran ribuan kasus positif Covid-19 di Indonesia terus bertambah setiap harinya. Gerakan memakai masker juga perlu terus digelorakan agar tercipta masyarakat yang disiplin.
Untuk mendorong pentingnya pemakaian masker ini, pemerintah baik pusat maupun daerah telah membuat berbagai kebijakan. Namun, di lapangan masih banyak ditemukan warga yang abai dan enggan mengenakan penutup hidung dan mulut dari potensi paparan virus korona tersebut. Sanksi baik denda ataupun kerja sosial juga kerap dikenakan bagi para pelanggar. Namun, hal itu belum membuat kebijakan pemakaian masker ini berjalan efektif.
Tak mudahnya membangun budaya wajib memakai masker ini diakui Ketua Satgas Covid-19 RSUP Dr Sardjito Yogyakarta Ika Trisnawati. Dia mengatakan, membangun budaya wajib pakai masker itu harus dimulai dari pemahaman bahaya Covid-19 yang bisa merenggut nyawa. Melalui pemahaman tersebut, orang biasanya dengan kesadaran penuh akan beralih menggunakan masker.
“Karena kita paham, dengan kesadaran penuh tidak terpaksa lagi menggunakan masker. Misalnya, gunakan masker karena takut didenda. Jadi, kita tidak perlu lagi seperti itu,” ucapnya dalam diskusi bertajuk “Budaya Wajib Masker, Ampuh Kurangi Risiko Penularan Covid-19” yang diselenggarakan SINDO Media bersama Satgas Penanganan Covid-19 kemarin.
Menurut Ika, masyarakat harus mengetahui bahwa virus SARS Cov-2 yang menyebabkan Covid-19 sangat mudah menular ke sel tubuh manusia. Hal itu dikuatkan dengan data terkini di mana kasus positif sudah mencapai hampir 18 juta. Khusus di Indonesia, per kemarin kasusnya sudah menembus 344.000 dengan jumlah kematian mencapai 12.156 orang.
Terlebih lagi, ungkap Ika, Covid-19 memiliki keunikan lantaran yang terpapar belum tentu langsung mengalami gejala seperti influenza. Gejala tersebut bisa muncul beberapa hari berikutnya. Untuk influenza, biasanya bisa sembuh dengan sendirinya melalui istirahat yang cukup dan mengonsumsi makanan yang sehat.
“Bedanya dengan Covid-19, ada yang memang tanpa gejala, ada yang dengan gejala ringan, dan ada juga dengan gejala berat sampai dengan kematian,” imbuh dokter spesialis di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.Ika menjelaskan bahwa penyebaran virus bisa terjadi karena kontak erat dengan orang yang sudah terpapar. Umumnya percikan yang keluar dari hidung maupun mulut penderita Covid-19 akan mengeluarkan partikel kecil (droplet) yang bisa terbawa di udara dan mudah terhirup.
“Inilah mengapa kita harus menggunakan masker. Kalaupun kita berada dekat orang yang terinfeksi Covid-19, apabila kita menggunakan proteksi (masker), maka tidak akan mudah menghirup droplet yang dikeluarkan oleh pasien,” ungkapnya
Percikan lainnya bisa berwujud partikel besar yang bisa menempel pada benda-benda di sekeliling orang yang sakit. Apabila disentuh orang sehat dan tidak melakukan cuci tangan, langsung menyentuh mulut, hidung, atau mengusap wajah, maka akan menyebabkan penularan secara tidak langsung.
Melihat bahaya tersebut, Ika mengingatkan, selain memakai masker, juga perlu menjaga jarak minimal 1 meter dan mencuci tangan di air mengalir dengan memakai sabun (3M).
Ketua Umum Gerakan Pakai Masker (GPM) Sigit Pramono mengakui tidak mudah untuk membangun kesadaran masyarakat wajib memakai masker. “Diperlukan ketekunan, disiplin, dan juga tidak boleh bosan. Harus mengingatkan pakai masker, tiap hari, tiap saat,” kata Sigit menceritakan kampanye yang telah dilakukannya.
Gerakan yang dia komandoi ini memprioritaskan sosialisasi pada kluster yang rentan, terutama area populasi padat, mobilitas dan interaksinya antarmanusia yang tinggi seperti pasar rakyat, pesantren, daerah wisata, dan transportasi umum. Ada sepuluh kota terbesar yang menjadi lokasi kampanye, mulai dari Jabodetabek, Surabaya, Medan, Bandung, Makassar, Semarang, Palembang, Padang, Batam, dan Bandar Lampung.
“Di pasar rakyat, penyuluhan sudah mencapai 9.200 pasar dengan jumlah lebih dari 7 juta pedagang. Selain itu, di pesantren sudah mencapai 65 pesantren dengan lebih dari 91.000 santri dan 3.361 guru, termasuk kiai,” terangnya.
Sigit memahami ada banyak jenis masker saat ini. Namun, satu di antaranya tidak dianjurkan pemerintah untuk digunakan adalah jenis masker scuba. Lantaran tak ingin memicu kontroversial, bagi Sigit, yang terpenting adalah masyarakat minimal membiasakan diri menggunakan masker. “Sekarang adalah pakai masker dulu. Nanti kita akan menyesuaikan dan mulai edukasi,” tandasnya.
Dia juga mengungkapkan, tidak semua orang juga bisa memiliki masker, khususnya kalangan masyarakat yang ekonominya rendah. Untuk itu, produksi masker harus ditingkatkan agar harganya kian terjangkau. “Mau harga mahal atau lebih murah, yang penting pakai masker dan gunakan dengan cara benar,” tandasnya.
Saat ini GPM terus melakukan kampanye atau sosialisasi wajib masker ke berbagai wilayah dan tempat. Cara penyampaian juga harus menyesuaikan dengan pemahaman orang. Misalnya, sosialisasi di pesantren akan berbeda dengan cara kampanye di pasar tradisional. Kalau di pesantren biasanya kita bilang itu perintah dari kiai. Kalau di pasar, kita menyadarkan pedagang atau pembeli dan bekerja sama asosiasi pengelola pasar (Asprindo),” jelasnya.
Di pasar selama ini diketahui banyak pedagang tidak menyadari pentingnya memakai masker. Padahal, jika ada satu pedagang positif, maka pasar akan ditutup. “Intinya, kita fokus saja bagaimana mengubah perilaku masyarakat dari tidak pakai masker menjadi pakai masker. Sekarang ini vaksin yang sudah tersedia adalah masker,” tukasnya.
Di Bawah Rata-Rata Dunia
Ketua Bidang Data dan Teknologi Informasi Satgas Penanganan Covid-19 Dewi Nur Aisyah mengungkapkan, secara nasional persentase kasus aktif Covid-19 di Indonesia lebih rendah dibanding rata-rata dunia.
Menurut Dewi, secara persentase dari jumlah kasus orang yang terkena Covid-19 dibagi dengan jumlah orang yang sembuh juga terus mengalami penurunan. Kasus aktif di Indonesia berada di angka 19,17%, sementara persentase dunia mencapai 22,08%.
“Sebetulnya secara proporsi (kasus aktif) terus mengalami penurunan ya. Artinya, ada jumlah orang yang sedang sakit dibagi dengan jumlah orang yang terinfeksi per 14 Oktober ini 19,17%,” ungkap Dewi dalam diskusi “Covid-19 Dalam Angka” di Media Center Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Graha BNPB, Jakarta, kemarin.
Meski rata-rata kasus aktif secara nasional berada di bawah rata-rata dunia, namun jumlah rata-rata kasus aktif Covid-19 di sejumlah kabupaten dan kota di Indonesia justru sebaliknya. Dewi menyebut, ada 49,03% atau sekitar 252 dari 514 kabupaten/kota memiliki kasus aktif Covid-19 di atas rata-rata dunia.
Sisanya, 248 kabupaten/kota atau sekitar 48,25 % kasus aktifnya di bawah rata-rata dunia, bahkan 14 lainnya tidak tercatat ada kasus aktif Covid-19. “Ada 14 kabupaten dan kota tidak tercatat kasus atau tidak ada kasus aktifnya. Tentu kasus aktifnya nol di sana,” jelas Dewi.