BKF Sebut Belanja Perpajakan di 2020 Turun 13,7% dari Tahun Sebelumnya
JAKARTA. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu melaporkan, besaran belanja perpajakan di tahun 2020 mencapai Rp 234,8 triliun, atau sekitar 1,52% dari PDB. Jumlah tersebut mengalami penurunan sebesar 13,7% dari belanja perpajakan tahun 2019 yang nilainya sebesar Rp272,1 triliun, atau sekitar 1,72 persen dari PDB.
“Meskipun sedikit menurun dibandingkan dengan belanja perpajakan tahun 2019, perlu diketahui bahwa kebijakan insentif yang diberikan oleh pemerintah pada masa pandemi di tahun 2020 semakin beragam di luar yang telah diberikan oleh pemerintah di tahun sebelumnya, antara lain PPh DTP Pasal 21, pembebasan PPh 22 impor, dan pengurangan angsuran PPh Pasal 25, yang tidak seluruhnya termasuk dalam kategori belanja perpajakan,” kata Febrio dalam keterangan tertulisnya, Minggu (26/12).
Di samping itu, menurutnya pemerintah juga memberikan dukungan terhadap ekonomi berupa penurunan tarif PPh badan dari sebelumnya 25% menjadi 22% sejak tahun pajak 2020, yang dikategorikan sebagai perubahan benchmark belanja perpajakan bagi jenis Pajak Penghasilan.
Dengan demikian, penurunan estimasi belanja perpajakan 2020 bukan disebabkan oleh berkurangnya dukungan pemerintah namun lebih disebabkan oleh menurunnya konsumsi serta profitabilitas perusahaan akibat pandemi Covid-19, sehingga menurunkan basis pemajakan dan menyebabkan rendahnya pemanfaatan fasilitas perpajakan.
Walaupun begitu, terdapat peningkatan dukungan fasilitas perpajakan untuk jenis pajak Bea Masuk yang utamanya ditujukan untuk mendukung ketersediaan alat kesehatan dalam rangka penanganan pandemi Covid-19.
Belanja perpajakan konsisten berpihak pada dunia usaha khususnya UMKM dan rumah tangga. Di tahun 2020, rumah tangga menikmati belanja perpajakan sekitar 40,8% dari keseluruhan belanja perpajakan. Untuk dunia usaha secara keseluruhan menikmati sekitar 59,2%, yang mana sebesar 25,5% merupakan fasilitas yang khusus ditujukan untuk UMKM.
Bila dilihat berdasarkan detail kebijakan insentif perpajakan, fasilitas yang nilainya cukup besar antara lain, PPN tidak terutang yang diberikan kepada pengusaha kecil yang memiliki omzet sampai dengan Rp 4,8 miliar per tahun, (threshold PPN) sebesar Rp40,6 triliun, PPN tidak dikenakan atas barang kebutuhan pokok sebesar Rp 27,7 triliun, pengecualian penghasilan tertentu BPJS sebagai objek PPh sebesar Rp 22,2 triliun.
Kemudian, penyederhanaan penghitungan PPh atas penghasilan usaha dengan peredaran tertentu (PPh Final UMKM) sebesar Rp 16,2 triliun, dan PPN tidak dikenakan atas jasa pendidikan sebesar Rp 15,1 triliun. Kebijakan-kebijakan tersebut menunjukkan keberpihakan pemerintah pada pengembangan usaha kecil dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat.
Selanjutnya, belanja perpajakan melengkapi alokasi belanja negara di APBN tahun 2020 dan amanat UU 2/2020 untuk mengatasi dampak pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional. Hal tersebut tercermin dalam berbagai kluster stimulus yang termuat dalam Program PEN 2020, dengan realisasi anggaran, yaitu kesehatan sebesar Rp 62,7 triliun, perlindungan sosial sebesar Rp216,6 triliun, dukungan terhadap UMKM sebesar Rp 112,3 triliun.
Lalu, pembiayaan korporasi sebesar Rp 60,7 triliun, insentif usaha sebesar Rp 58,4 triliun; serta, program prioritas Kementerian/Lembaga (K/L) dan Pemda sebesar Rp 65,2 triliun.
Dengan mempertimbangkan semua insentif perpajakan yang masuk dalam program penanganan kesehatan serta pemulihan ekonomi nasional (PEN) akibat Covid-19, maka di tahun 2020, besarnya dukungan insentif perpajakan yang diberikan pemerintah paling tidak mencapai Rp 290,0 T atau setara dengan 1,88% PDB.