Bahasa di Timur Lebih Rentan Punah, Pengamat Soroti Isolasi
NAGALIGA — Pengamat sekaligus aktivis bahasa, Ivan Lanin, mengatakan bahasa daerah di wilayah Timur Indonesia lebih mudah punah karena ketidakmampuan menyesuaikan dengan zaman akibat faktor isolasi.
Mengacu pada data Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ada 11 bahasa daerah yang dinyatakan punah dan puluhan lainnya terancam.
“Bahasa daerah itu punah ketika tidak ada lagi penuturnya yang menggunakan bahasa itu,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Senin (24/2).
Ivan menjelaskan bahasa daerah di Indonesia hadir dari dua rumpun bahasa, yakni Austronesia dan Melanesia. Rumpun bahasa Austronesia kebanyakan ada di Indonesia bagian barat dan tengah. Sedangkan rumpun Melanesia banyak di Indonesia timur.
Ia menduga jumlah bahasa daerah lebih banyak di Indonesia timur karena kondisi geografis di sana yang lebih terisolasi. Sehingga, kontak antar-budaya sangat minimal dan mengembangkan bahasa sendiri.
Hal itu membuat jumlah penuturnya sedikit dan menyulitkan setiap wilayah mewariskan bahasanya terus-menerus.
“Rumpun bahasa Melanesia ini sangat banyak. Dari 718 jumlah bahasa daerah, di Papua ada sekitar 400-an,” ucapnya.
Faktor lainnya, lanjut Ivan, adalah karena bahasa daerah tersebut tidak bisa menyesuaikan diri dengan moderinasasi atau perkembangan zaman.
“Suatu bahasa bertahan ketika mampu menampung konsep-konsep modern, di-update kosakatanya, itu yang menyebabkan bahasa ditinggal penuturnya. Ketika tidak mampu menyesuaikan diri dengan zaman modern,” tuturnya.
Perkembangan bahasa ini, kata dia, terkait pula dengan persoalan kemiripan dengan bahasa lainnya, terutama dalam satu rumpun. Rumpun bahasa daerah di timur, lanjutnya, berbeda satu sama lain akibat isolasi tadi. Ini membuat bahasa-bahasa itu sulit menyerap kosa kata baru. Hal berbeda terjadi rumpun bahasa di kawasan barat.
“Nah bahasa Jawa, Sunda, rumpunnya sama kayak Melayu. Jadi dari segi kosa kata mirip. Bahasa di timur beda jauh [satu sama lain]. Jadi akan terlihat sangat berbeda. Jadi enggak bisa buat persamaan,” .
Terpisah, Pelaksana Tugas Kepala Pusat Pengembangan dan Perlindungan Bahasa dan Sastra Hurip Danu Ismadi mengatakan penyerapan bahasa umumnya dilakukan setiap dua kali setahun. Namun, ini berlaku untuk penyerapan kosa kata dari bahasa daerah dan asing ke Bahasa Indonesia.
“Tapi serapannya ke Bahasa Indonesia itu masih sedikit, terutama bahasa-bahasa dari timur ya. Kalau Bahasa Sunda dan Jawa sudah banyak. Ini salah satu upaya pelestarian, penyerapan bahasa daerah sebanyak mungkin dalam kosa kata Bahasa Indonesia,” jelasnya.
Setiap tahunnya Badan Bahasa bisa menyerap enam sampai delapan ribu kosa kata baru untuk Bahasa Indonesia. Dalam penyerapan kosa kata bahasa daerah maupun asing terdapat sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Misalnya intensitas penggunaan, keunikan kosa kata dan mekanisme penyerapannya.
Ia mengakui kebanyakan serapan kosa kata datang dari bahasa asing karena intensitas penggunaan bahasa daerah lebih kecil.
Sebelumnya, Kemendikbud menyebut 11 bahasa daerah, yang Semuanya berasal dari wilayah timur Indonesia, yakni Papua, Papua Barat, Maluku, dan Maluku Utara sudah punah. Sebanyak 25 bahasa lainnya terancam hilang.