Analisis Survei: Tiga Nilai Sosial Perekat Bangsa di Masa Depan
JAKARTA – Pagebluk virus Corona (COVID-19) yang melanda banyak negara telah menyebabkan situasi global dan domestik yang bergejolak. Bahkan, di beberapa negara yang tidak siap justru mengalami situasi pelik yang dikenal VUCA (volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity).
Staf Ahli Menteri PPN/Bappenas bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan, Vivi Yulaswati memaparkan kondisi tersebut menjadi tantangan tersendiri termasuk di Indonesia. Di saat pandemi, negara juga berjuang tetap produktif melalui berbagai kegiatan pembangunan nasional agar bertahan dan mampu bersaing dengan negara lainnya.
“Dalam 8-9 bulan terakhir, kita banyak belajar ternyata modal sosial di masyarakat bisa menyebabkan kita relatif bertahan. Bahkan di beberapa komunitas bisa mengendalikan kasus relatif lebih baik,” ujar Vivi dalam diskusi daring bertajuk Cetak Biru Pahlawan Baru: Dialog tentang Nilai-Nilai Bangsa untuk Bangkit dan Maju, Selasa (10/11/2020).
Menurut Vivi, pandemi telah menumbuhkan empati dan berkembangnya jejaring sosial serta meningkatkan kebutuhan sains atau riset berbasis bukti. Bahkan, turut memicu transformasi digital dan berbagai perubahan aktivitas ekonomi.
Merujuk pada analisis survei Nenilai Indonesia pada 15 September 2020, dari 31.104 responden di berbagai daerah menunjukkan tumbuhnya nilai-nilai pribadi seperti bertanggung jawab, adil, dan integritas atau kejujuran.
“Nilai-nilai itu masih diinginkan oleh responden bahwa adil, berintegritas, bertanggung jawab adalah nilai-nilai yang menjadi perekat Indonesia ke depan,” jelas dia.
Sementara, nilai yang tampak nyata di kehidupan masyarakat yaitu gotong royong, demokrasi, dan hak asasi manusia. Menurut Vivi, nilai tersebut diharapkan bisa menjadi modal perekat yang telah dirasakan manfaatnya untuk memperkuat masyarakat ke depan.Itu bisa menjadi nilai-nilai bangsa yang kita gunakan. Tidak saja sebagai perekat, tapi juga pelumas untuk mempercepat proses pembangunan. Tentunya, dengan penyelesaian problem-problem yang ada,” terangnya.
Namun, analisis survei itu juga menunjukkan adanya entropi budaya mencapai 43%. Entropi itu seperti energi yang tidak diperlukan karena tidak menambah nilai, tidak penting dan tidak produktif. Bahkan, bisa menjadi ‘kanker’ di masyarakat bila tidak dituntaskan.
“Beberapa entropi yang dipilih responden itu antara lain birokrasi atau aturan yang berbelit, berpegang pada aturan agama, korupsi, diskriminasi, dan berpikir jangka pendek. Ini dianggap menghambat proses pembangunan yang ada. Kalau ini tidak dituntaskan atau dibereskan, mencerminkan adanya konflik, friksi, frustasi, dan tidak terpenuhinya kebutuhan sehari-hari bsa menghambat negara untuk mencapai kinerja terbaiknya,” tutur dia.
Entropi terbesar berada di Pulau Jawa sebesar 46%. Berikutnya, di Kalimantan mencapai 37% dan Sumatera 36%. Adapun nilai entropi budaya di Sulawesi, Maluku dan Papua sekitar 34%, sedangkan di Bali dan Nusa Tenggara sebesar 30%.