Tiwul Gunungkidul dan Segunung Impian Hidup Makmur
GUNUNGKIDUL – Tiwul tak bisa dilepaskan dengan Gunungkidul. Kabupaten di sisi selatan wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ini adalah penghasil makanan khas pengganti nasi ini. Bagi yang masih memiliki sedikit persediaan beras, masyarakat kadang mencampur tiwul dengan beras sehingga akhirnya dikenal sebutan nasi tiwul.
Seiring berakhirnya masa penjajahan dan tak ada lagi masa paceklik pangan, warga Gunungkidul mulai jarang yang mengonsumsi makanan berbahan dasar singkong ini. Namun di tengah masyarakat yang sudah makmur, tiwul tak lantas sepenuhnya terkubur. Pamornya justru naik seolah menjadi identitas baru kuliner asal Gunungkidul.
Tiwul pun bukan lagi makanan murahan dan milik warga miskin saja. Tiwul sudah naik kasta menembus batas lidah segala kelas. “Bentuk dan rasanya khas. Selain itu makan tiwul itu ngangeni, khususnya kalau ke Yogya,” ujar Amaliya, 40, warga Semarang yang selalu memburu tiwul kala berkunjung ke Gunungkidul atau Yogyakarta.
Di balik kelezatan rasa tiwul saat ini, hakikatnya ada beragam sejarah yang melatarbelakanginya. Dari sejumlah sumber, tiwul lahir sebagai bentuk terobosan masyarakat Gunungkidul untuk bertahan hidup di tengah kemiskinan dan minimnya makanan. Di kala jauh sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia, beras diketahui masih menjadi hegemoni kaum elite seperti penjajah.
Sedikitnya pasokan beras dan masa paceklik berkepanjangan membuat masyarakat berupaya keras memakan seadanya demi bisa bertahan melanjutkan kehidupan. Kawasan Gunungkidul yang umumnya tandus dan kering, ternyata masih cocok untuk tanaman singkong. Lantaran yang tersedia singkong, warga akhirnya berupaya mengubah singkong menjadi pengganti beras.
Agar bisa bertahan lama maka singkong dikeringkan berhari-hari hingga menjadi gaplek. Dari gaplek inilah, singkong kemudian diolah menjadi tiwul yang bisa dibawa ke ladang, bertempur hingga waktu yang cukup lama lantaran tidak cepat basi seperti nasi. Kendati kalorinya lebih rendah dari beras, kehadiran tiwul menjadi alternatif makanan tepat saat itu.
Bahkan, makanan khas ini juga banyak diyakini bisa mencegah sakit mag. Selain Gunungkidul, tiwul juga banyak dikonsumsi masyarakat Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah dan Pacitan, Jawa Timur. Karakteristik tiga wilayah ini hampir sama, yakni banyak perbukitan, tandus, dan sulit ditanami padi. Di wilayah Banyumas, ada makanan sejenis tiwul yang dinamakan oyek.
Ahli tata boga Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Kokom Komariyah mengakui bahwa tiwul sudah banyak bergeser stratanya menjadi makanan berbagai kalangan. Namun, tiwul saat ini lebih sebagai oleh-oleh atau tombo kangen bagi sebagian orang yang pernah mencicipinya. Kendati demikian, Kokom menyebut ada beberapa jenis makanan memang masih terkesan sebagai makanan orang miskin. Misalnya tempe gembus, growol.
Menurut pengamatan Kokom, para ahli gastronomi sudah berupaya mengangkat makanan daerah tersebut pada level yang lebih tinggi khususnya dikaitkan dengan wisata kuliner. Langkah ini tak berlebihan karena kesan makanan orang miskin, kini perlahan hilang berganti makanan yang khas atau unik yang semakin banyak dicari.
“Perkembangannya cukup baik. Mengangkat makanan tersebut dalam event-event bergensi. Misalnya di UNY saat pengukuhan guru besar disajikan makanan seperti itu. Di hotel dan katering juga dengan dilakukan platting yang menarik,” terangnya.
Menurut Kaprodi Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK) UNY ini, pemerintah perlu memberikan subsidi untuk konsumsi bahan makanan lokal. Dia mencontohkan saat ini harga tepung singkong lebih mahal daripada tepung terigu. Kondisi ini yang membuat masyarakat sulit beralih ke produk lokal.
“Ini yang membuat masih sulit berkembang. Buktinya belum ada kebijakan membuka restoran-restoran di berbagai negara. Kalaupun ada, masih inisiasi individu,” terang Kokom.
Dari tiwul Gunungkidul, mimpi warga bisa hidup makmur perlahan menjadi nyata. Ini seperti dirasakan Slamet Riyadi, warga Desa Wonosari, Kecamatan Wonosari yang membidik usaha tiwul. Lewat usaha yang digeluti sejak 2003 lalu, Slamet turut memopulerkan tiwul hingga mancanegara. Usahanya pun tergolong maju. Selain penjualan konvensional, tiwul Slamet berkembang pesat karena juga sudah bisa dibeli via daring.
Slamet berhasil mengenalkan tiwul bukan lagi sebagai makanan pengganti nasi ketika paceklik melanda. Tiwul sudah bermetamorfosa menjadi makanan yang memiliki nilai cita rasa dan disukai masyarakat. “Usaha saya terlihat berkembang di tahun 2006 lalu hingga sekarang. Dalam sehari, rata-rata 50 kilogram tepung gaplek saya buat tiwul,” ungkapnya.
Soal penjualan, gerainya di Wonosari juga tak pernah sepi pembeli. Banyak pegawai kantoran ataupun warga luar daerah sengaja datang ke Gunungkidul demi bisa mencicipi tiwul. Agar tiwul bisa terus diterima lidah banyak kalangan, dia pun membuat inovasi rasa untuk tiwul manis buatannya. “Ada yang orisinal, cokelat, dan nangka,” ujarnya.
Tiwul orisinal harganya Rp17.000, sedangkan tiwul dengan varian rasa dipatok Rp21.000. Dirinya mengaku menerima lonjakan order saat musim liburan terutama Idul Fitri. “Kalau libur Lebaran bisa 200 kilogram tepung gaplek saya buat,” kata pemilik Pusat Oleh-Oleh Thiwul Yu Tum ini.