Sehari Rata-rata 3 Pengedar Obat Keras Diringkus di Banten
SERANG – Sebanyak 108 kasus peredaran obat keras golongan G dengan 126 tersangka berhasil diungkap petugas Direktorat Reserse Narkoba Polda Banten dan jajaran sepanjang Januari hingga Oktober 2020.
Polres Tangerang mengungkap 23 kasus dengan barang bukti 226.207 butir heximer dan tramadol. Polres Lebak mengungkap 23 kasus dengan barang bukti 55.951 butir pil heximer dan tramadol. Polres Serang Kota dan Polres Serang mengungkap 30 kasus dengan barang bukti 17.332 butir heximer dan tramadol.
Sedangkan Polres Pandeglang mengungkap 17 kasus dengan barang bukti 9.301 butir heximer dan tramadol serta Polres Cilegon mengungkap 9 kasus dengan barang bukti 49.689 butir heximer dan tramadol.
Kapolda Banten, Brigjen Pol Fiandar menyatakan, obat-obatan keras marak beredar di masyarakat karena harganya yang murah. “Kalau dirata-rata setiap hari kami menangkap 3 orang dalam kasus ini,” kata Irjen Pol Fiandar kepada wartawan saat konferensi pers Mapolda Banten, Senin (9/11/2020).
Para pengedar mengelabui petugas dengan berkedok sebagai toko kosmetik dan warung kelontong. “Mereka tidak melalui jalur resmi apotek. Distribusinya dari luar daerah, tidak menggunakan kemasan sesuai ketentuan dan sesuai resep dokter,” kata Fiandar.
Sementara itu, Perwakilan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di Serang menyatakan bahwa efek samping mengonsumsi obat keras tersebut bisa sangat fatal. “Bisa gagal napas atau gagal jantung jika penggunaannya melebihi dosis,” kata perwakilan BPOM di Serang.
Direktur Reserse Narkoba Polda Banten, Kombes Pol Susatyo Purnomo Condro menyatakan bahwa ada tiga jalur distribusi yang ia pantau. Mulai dari jalur distribusi pabrik, pengedar dan pengecer. “Tapi tidak menutup kemungkinan ada juga yang jalur home industri dengan memalsukan obat. Semua jalur kami pantau,” kata dia.
Dampak yang dikhawatirkan setelah mengonsumsi obat keras tersebut menurut Susatyo adalah tindakan kriminal dan asusila. “Makanya penanganan kasus ini menjadi atensi dari Pak Kapolda,” ujarnya.
Akibat aksinya para tersangka diancam dengan Pasal 196, 197 dan atau Pasal 198 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dengan ancaman hukuman penjara paling singkat 10 tahun paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp1,5 miliar.