Periksa Elite PKB, KPK Dalami Aliran Suap Terkait Proyek PUPR
NAGALIGA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencecar Wakil Ketua Dewan Majelis Syuro DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Abdul Ghofur, mengenai aliran dana dalam kasus dugaan korupsi proyek di Kementerian PUPR Tahun Anggaran 2016.
“Diperiksa seputar pengetahuan saksi akan perihal pemberian dan aliran uang tersangka HA [Hong Artha],” ujar Pelaksana Tugas Juru Bicara Penindakan KPK, Ali Fikri, kepada awak media di Kantornya, Jakarta, Senin (3/2) malam.
Ali Fikri menuturkan penyidik mendalami perihal surat Justice Collaborator (JC) eks politikus PKB, Musa Zainudin, dalam pemeriksaan terhadap Ghofur. Ada pun isi JC Musa itu perihal aliran dana ke sejumlah elite PKB.
“Terkait pula masalah pengetahuan saksi mengetahui pengajuan JC oleh Musa Zainudin,” kata Ali.
“Saya diminta berbohong dengan tidak mengungkap peristiwa sebenarnya,” ungkapnya.Dalam perkara ini, Musa telah divonis sembilan tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan. Selain itu, ia dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp7 miliar dan pencabutan hak politik selama tiga tahun setelah menjalani masa hukuman pokok.
Dari dalam penjara, Musa mengajukan surat permohonan Justice Collaborator ke KPK pada akhir Juli 2019. Pada surat itu ia mengatakan bahwa uang yang diterimanya turut dinikmati pihak lain yang merupakan elite PKB.
Ia menuturkan uang senilai Rp6 miliar diserahkan kepada Sekretaris Fraksi PKB saat itu, Jazilul Fawaid, di kompleks rumah dinas Jazilul.
Setelah menyerahkan uang, Musa mengaku langsung menelepon Ketua Fraksi PKB, Helmy Faishal Zaini. Ia meminta Helmy menyampaikan pesan ke Ketua PKB Muhaimin Iskandar bahwa uang Rp6 miliar sudah diserahkan lewat Jazilul.
Selama masa sidang, Musa mengaku menutupi peran rekan-rekannya karena menerima instruksi langsung dari dua petinggi partai. Instruksi itu menyebut bahwa Muhaimin berpesan agar kasus itu berhenti di Musa.
Sementara itu Hong Artha John Alfred merupakan Komisaris PT Sharleen Raya. Ia ditetapkan KPK sebagai tersangka lantaran diduga memberikan suap kepada sejumlah pihak terkait proyek-proyek PUPR, seperti kepala BPJN IX Maluku dan Maluku Utara Amran Hi Mustary sebesar Rp8 miliar dan Rp2,6 miliar pada pertengahan 2015.
Hong Arta juga diduga memberikan suap kepada mantan anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) Damayanti Wisnu Putranti sebesar Rp1 miliar pada November 2015.
Atas perbuatannya itu, Hong Arta dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.