Terapi Alternatif Ternyata Bukan Solusi Atasi Kanker
Herbal seringkali dijadikan alternatif pengobatan bagi pasien kanker. Masalahnya bukan menyembuhkan, herbal justru memperburuk kondisi pasien serta menambah stadium. Sudah sejak setahun lalu Bakri divonis menderita kanker ginjal. Dokter menyarankan untuk mengangkat salah satu ginjalnya itu, namun dengan berbagai alasan Bakri menolak anjuran dokter.
Ia pun memilih pengobatan alternatif di kawasan Bogor secara rutin seminggu sekali dengan didukung penuh oleh keluarga yang dianggap lebih aman ketimbang prosedur medis. Berbagai ramuan (jamu) dari “orang pintar” yang ia temui rutin tersebut, diminumnya dengan harapan sembuh.
Termasuk akar bajakah yang belakangan ramai diklaim sebagai obat kanker. Keluarga sempat kerepotan mencari akar bajakah tersebut. “Tapi untungnya ada kerabat di Kalimantan yang mengirimkan,” tutur istri Bakri. Suaminya pun mulai mengonsumsi akar bajakah itu.
Namun justru sejak mengonsumsinya, kesehatan Bakri semakin menurun. Perutnya terasa nyeri dan membengkak, wajahnya menjadi pucat, badan terasa lemah, dan pada akhirnya berat badannya pun turun banyak. Ia mulai susah menelan makanan, “kalau makan perut terasa sakit,” katanya.
Keluarga pun mengambil langkah terakhir dengan membawa ke rumah sakit. “Harusnya setahun lalu,” kata Bakri menyesal. Dengan kondisi yang semakin menurun dan perjalanan penyakit yang cukup lama, bisa dipastikan stadium yang dideritanya menjadi lanjut.
Dikatakan dr. Hastarita Lawrentia selaku Medical Manager PT Kalbe Farma Tbk, masyarakat masih banyak yang enggan untuk meneruskan pengobatan pada tenaga medis dan lebih memilih pengobatan alternatif.
“Jadi mereka memilih ke orang pintar. Begitu stadiumnya sudah lanjut barulah dibawa kembali ke dokter. Ini yang jadi masalah,” katanya dalam acara Media Workshop Patient Journey in Oncology Total Solution yang diselenggarakan PT Kalbe Farma Tbk (Kalbe) bekerjasama dengan Yayasan Kanker Indonesia (YKI) di Bogor (8/10).
Kondisi pasien yang semakin memburuk tentu menyebabkan pengobatan medis tidak banyak membantu. Akibatnya, kualitas hidup pasien semakin menurun dan harapan hidup semakin tipis. Kalau sudah begini, pengobatan medis akhirnya sekedar mengurasi rasa nyeri yang diderita pasien bersangkutan.
Menyikapi akar bajakah yang diklaim dapat menyembuhkan kanker, Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia Prof. DR. Dr. Aru W. Sudoyo, Sp.PD.KHOM, FINASIM, FACP menegaskan bahwa masih perlu pembuktian lebih lanjut. “Itu (tanaman bajakah) masih way to go (masih harus lebih jauh diteliti,” ujar Prof. Aru.
Suatu produk baru dapat dikatakan menjadi obat jika telah melewati fase uji klinis terhadap manusia. Produk itu juga harus lolos melewati beberapa tahapan dimulai dari mengindentifikasi zat aktif yang terkandung, menemukan cara kerjanya, melakukan uji praklinik sampai uji klinik.
Untuk itu, waktu yang dibutuhkan pun tidak sebentar, bahkan bisa makan waktu bertahun-tahun. Memang, mitos dan fakta mengenai kanker marak berkembang di tengah masyarakat. Salah satunya mengenai herbal tadi. Peneliti Kanker Kalgen Innolab Ahmad R Utomo menekankan bahwa herbal hanya berkhasiat untuk pencegahan atau mengurangi beban terjadinya mutasi akibat radikal bebas.
ADVERTISEMENT
Sebab herbal mayoritas mengandung antioksidan. “Tapi untuk terapi kanker, yang diperlukan bukanlah antioksidan,” bebernya. Ia menganalogikan penggunaan herbal seperti kayu yang terbakar mengeluarkan asap. Penggunaan herbal sebagai antioksidan seperti hanya menghilangkan asapnya saja. Tapi, tidak menghilangkan api yang membakar kayu tersebut. “Maka itu herbal hanya baik untuk pencegahan,” jelasnya.
Untuk diketahui, merujuk data Globocan 2018, kasus baru kanker yang terjadi pada tahun 2018 mencapai 348.809. Sementara angka kematian akibat kanker di kawasan Asia sebesar 57,3%. Angka tersebut sudah mengkhawatirkan. Maka itu deteksi dini kanker perlu digiatkan dengan harapan dapat membantu mencegah sel kanker menjadi lebih ganas.
Menurut Prof. Aru, pertumbuhan kanker tidak mendadak dan memerlukan waktu yang lama. Deteksi dini memungkinkan dapat mencegah kanker. “Contohnya sekarang kita bisa lihat, kanker serviks sempat menjadi nomor satu di Indonesia, namun sekarang turun menjadi nomor dua hal ini karena adanya program deteksi dini yang juga didukung pemerintah,” pungkasnya.