Tekan Kasus Malnutrisi, Asupan Gizi Harus Dijaga Sejak Dini
JAKARTA – Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada anak balita di Indonesia mencapai 17,7 persen, sedangkan stunting mencapai 30,8 persen. Begitu juga dengan obesitas yang menunjukkan peningkatan, di angka 6,7 persen pada 2013 menjadi 8 persen pada 2018.
Faktor tersebut menjadi landasan pada studi lapangan South-East Asia Nutrition Survey (SEANUTS) yang telah berjalan di 21 kabupaten/kota pada 15 Provinsi di Indonesia dan melibatkan sekitar 25 personel dari kalangan dokter, ahli gizi, kesehatan masyarakat dan bidang olahraga.
SEANUTS merupakan studi mengenai gizi dan kesehatan yang dilakukan di empat negara di Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam) yang diprakarsai FrieslandCampina, induk perusahaan produk bergizi berbasis susu PT Frisian Flag Indonesia.
Studi ini diharapkan dapat menjadi sebuah acuan para pemangku kepentingan dalam mengambil kebijakan untuk mengentaskan kasus malnutrisi di Indonesia, mengingat anak-anak merupakan cikal bakal generasi penerus bangsa yang harus dijaga.
Bekerja sama dengan lembaga penelitian dan universitas di Indonesia, SEANUTS melibatkan sekitar 3 ribu anak di seluruh Indonesia dengan rentang usia 6 bulan-12 tahun. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status gizi anak dengan menilai asupan makanan, antropometri, aktivitas fisik, dan parameter biokimia.
Peneliti Utama SEANUTS, Prof. Dr. dr. Rini Sekartini, Sp.A (K) mengungkapkan betapa pentingnya edukasi gizi kepada masarakat dalam upaya menekan kasus malnutrisi pada anak. Hal itu menjadi demikian penting dalam rangka mencetak generasi penerus bangsa yang sehat dan berdampak pada peningkatan produktivitas dan kualitas sumber daya manusia di kemudian hari.
“Definisi anak kan sejak dari dalam kandungan. Status gizi kurang pada ibu dan asupan makanan rendah gizi dapat berdampak pada saat proses kehamilan. Kondisi ini bisa menyebabkan bayi lahir dengan berat badan lahir rendah, prematur, dan meningkatkan risiko anak mengalami gizi kurang, gizi buruk, atau pun stunting,” terang Prof Rini, di Jakarta, Jumat (4/6).
Dia menyatakan bahwa anak yang terlahir dengan gizi kurang akan tumbuh menjadi remaja dengan status gizi kurang dan berpotensi kembali melahirkan anak dengan kondisi gizi kurang. “Mata rantai ini lah yang harus diputus dengan berbagai macam upaya,” ucap Prof Rini.
Dia menambahkan, faktanya remaja saat ini cenderung menyukai makanan cepat saji, perihal harga yang terjangkau dan praktis. Namun, konsumsi makanan yang baik, seharusnya juga turut mempertimbangan keseimbangan nutrisinya.
“Ini terjadi tak hanya di perkotaan, tetapi juga pedesaan. Akar masalahnya adalah masih minimnya pengetahuan tentang pedoman gizi seimbang,” tambahnya.
Prof Rini menyebutkan jika pentingnya asupan beragam sumber gizi, termasuk di dalamnya protein hewani seperti daging, ikan, ayam, telur dan susu dengan kandungan asam amino esensial yang bermanfaat untuk membantu mengoptimalkan tumbuh kembang anak, termasuk saat masih fase dalam kandungan. Asam amino esensial sendiri tidak dapat diproduksi oleh tubuh, dan harus didapatkan dari makanan yang mengandung protein.
“Protein sangat penting untuk mengganti sel-sel tubuh anak yang rusak, jadi anak harus menerima asupan protein itu minimal tiga kali sehari berikut dengan makanan pokok. Kualitas protein hewani juga lebih baik dan lebih mudah diserap oleh tubuh,” tutup Prof. Rini.