Stres Bisa Memicu Gerd Kambuh, Bagaimana Menyiasatinya?
Kondisi tidak menentu ditambah kekhawatiran tertular Covid-19, dapat membuat seseorang mengalami stres dan memicu kekambuhan gerd. Bagaimana menyiasatinya?
Rasa panas di dada bahkan terkadang seperti tercekik disertai mulut pahit merupakan gejala utama gerd. Gastroesophageal reflux disease (gerd) adalah penyakit kronik pada sistem pencernaan. gerd terjadi ketika asam lambung naik kembali ke esofagus (kerongkongan). Hal ini dapat menyebabkan terjadinya iritasi pada esofagus.
Gerd beda dengan maag, jika maag terasa nyeri di ulu hati, sedangkan erd menyebabkan rasa panas di dada. Meski begitu seorang pasien bisa saja memiliki keluhan maag dan gerd sekaligus. Penderita gerd dengan komplikasi bahkan bisa mengalami gejala suara serak, sesak napas, gigi ngilu, dan disertai gangguan telinga berdengung.
Di masa pandemik ini, situasi yang ada serba tidak menentu yang berimbas salah satunya pada perekonomian. Belum lagi adanya kekhawatiran tertular Covid-19 yang menghantui masyarakat dan memicu stres. “Stres bisa memicu produksi asam lambung, seperti stres karena Covid-19. Termasuk pada pasien gangguan kecemasan yang bisa timbulkan peluang kekambuhan dan memperparah gejala gerd,” kata Prof. Dr. dr. H. Ari Fahrial Syam, SpPD-KGEH, MMB, FINASIM, FACP di Instagram Live @guesehat dengan tema Kenali Gerd di Era Covid-19 dan Bagaimana Menyiasatinya.
Dibenarkan dr. Jessica Florencia, fakta membuktikan stres berpengaruh terhadap produksi asam lambung. “Dibandingkan pria, wanita lebih mudah terkena stres. Maka tak heran penyakit maag lebih sering menyerang usia produktif yaitu 20-30 tahun dan lebih banyak diderita wanita ketimbang pria,” kata dr. Jessica dalam kesempatan terpisah.
Kendati sama-sama merasakan ketidaknyamanan di dada, namun gerd berbeda dengan serangan jantung. GERD adalah penyakit menahun dan sudah berulang, sementara serangan jantung terjadi secara tiba-tiba. Ketika gerd kambuh, Prof. Ari mengatakan agar tidak cemas dan panik sebab cemas malah akan menambah produksi asam lambung meningkat. “Segera konsumsi Antasida (antacid) untuk menetralkan kadar asam di dalam lambung,” saran spesialis penyakit dalam konsultan Hepatologi Gastro Entero ini.
Asam lambung yang naik juga bisa membuat sesak napas atau terasa tercekik. Tapi tentunya berbeda dengan gejala Covid-19 yang diiringi dengan demam tinggi dan sesak napas. Dan gerd juga terjadi berulang. Penyakit ini erat kaitannya dengan gaya hidup. Selain stres, kebiasaan mengonsumsi makanan yang mengandung lemak seperti cokelat dan keju yang mengakibatkan pengosongan lambung menjadi terganggu.
Kebiasaan makan besar sesaat sebelum tidur di malam hari dan merokok. Karenanya Prof. Ari menyarankan untuk mengendalikan stres, mendekatkan diri kepada agama, menghindari makanan cokelat, keju, berlemak, asam, pedas, dan memberi jarak dua jam sehabis makan guna mencegah kambuhnya gerd.
Diagnosa penyakit ini bisa dilakukan lewat aplikasi GERDQ. Aplikasi ini berisikan kuesioner, yang dilengkapi oleh pasien dan dalam pengawasan dokter untuk identifikasi dan manajemen pasien dengan gerd. Kuesioner terdiri atas empat pertanyaan mengenai gejala, dan dua pertanyaan pada dampak yang dialami pasien.
Bagi yang mengalami keluhan berat badan turun, BAB berdarah, anemia, harus dipastikan apakah itu gerd dengan endoskopi. “Harus diteropong ada luka atau tidak, kalau hasilnya normal maka dilanjutkan monitoring pH,” kata tutur Prof. Ari.
Ia mengingatkan bahwa gerd harus diobati, jangan dibiarkan. Sebab, kerongkongan yang terus terpapar asam lambung bisa akibatkan luka dan terjadi perubahan struktur. Dalam jangka panjang dapat terjadi kanker, apalagi diperparah dengan kebiasaan merokok. Obesitas dan diabetes juga masuk dalam faktor risiko gerd.
Maka itu, modifikasi gaya hidup adalah kunci pengobatan penyakit pencernaan ini. Pasien juga harus konsumsi obat untuk menekan produksi asam lambung. Obat disini berguna untuk meredakan gejala dan mencegah komplikasi. Dengan modifikasi gaya hidup dan rutin minum obat, pasien gerd pun dapat sembuh.