Kandung Senyawa Kimia Berbahaya, BPOM Larang Vape
JAKARTA – Mengonsumsi rokok elektrik atau vape sebagai terapi menghentikan kebiasaan merokok ternyata hanya bualan. Apalagi jika ada yang mengatakan vape bisa menyehatkan, merupakan pernyataan yang menyesatkan. Faktanya, bahan baku vape mengandung senyawa kimia yang tidak kalah berbahayanya dengan rokok biasa.
Berdasarkan fakta tersebut, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengusulkan pelarangan penggunaan vape. Selain karena potensi bahaya yang ditimbulkan, rekomendasi ini disampaikan karena vape sudah banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia.
Rekomendasi pelarangan vape ini sudah dikoordinasikan kepada Kementerian Kesehatan dan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Di sisi lain, pelarangan membutuhkan payung hukum. Untuk itu, perlu ada revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Rekomendasi BPOM melarang vape bisa dibilang terlambat. Pasalnya, saat ini sudah lebih dari 20 negara telah melarang penjualan produk-produk vape. India merupakan negara teranyar setelah Brasil dan Thailand yang melarang penjualan vape atas alasan kesehatan.
Secara global, perokok tembakau aktif memang masih menjadi masalah terbesar. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), walaupun menurun, jumlahnya masih sekitar satu miliar orang. Sebaliknya, walaupun masih terbilang kecil, jumlah perokok aktif perokok vape naik dari 7 juta orang pada 2011 menjadi 41 juta orang pada 2018. Euromonitor memprediksi jumlahnya akan mencapai 55 juta pada 2021.
Dengan kenaikan yang signifikan, pasar rokok vape pun naik hingga USD19,3 miliar tahun lalu, bandingkan dengan lima tahun sebelumnya yang hanya mencapai USD6,9 miliar. Pasar terbesar vape ialah Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Prancis, dengan total nilai transaksi sekitar USD10 miliar pada 2018.
“Pelarangan tersebut karena bahan baku rokok elektrik dan vape mengandung senyawa kimia yang berbahaya bagi tubuh,” ujar Kepala BPOM Penny Lukito kemarin. Berdasarkan penelitian BPOM, senyawa kimia berbahaya dimaksud antara lain nikotin, tobacco specific nitrosamines (TSNAs), diethylene glycol (DEG), propilenglikol, perisa (flavoring), dan logam, karbonil.
Anggota Komisi IX DPR Muchamad Nabil Haroen merespons positif rekomendasi BPOM. DPR sendiri akan berbicara dengan BPOM untuk mengetahui sejauh mana temuan akan bahaya vape, sebelum bersama-sama merumuskan keputusan yang akan diambil bersama pemerintah.
Selain itu, politikus PDIP ini juga mempersoalkan alur perdagangan dan pajak vape yang tidak jelas. ”Senyawa kimia dan bahan kimia yang digunakan juga belum ada kejelasan. Peraciknya juga tidak punya lisensi dan argumentasi bahwa vape bisa mengurangi kebergantungan rokok, atau terapi kesehatan juga belum ada bukti ilmiah yang memadai,” katanya.
Dia kemudian mengungkapkan bahwa lebih dari 20 negara baik di Amerika Selatan, Timur Tengah, maupun Asia Tenggara juga telah melarang penjualan produk-produk vape. Beberapa negara juga telah melarang kepemilikan produk-produk ini.
”Ini politik dagang internasional yang tidak sehat. Dulu keretek pernah dilarang di Indonesia dengan dalih ada campuran cengkih. Sementara produk rokok elektrik yang notabene juga menjual liquid rasa-rasa, bebas berkeliaran di Indonesia bahkan dunia,” katanya.
Ketua Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia Aryo Andrianto meminta pemerintah melibatkan pelaku industri berkaitan dengan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Pasalnya, sampai saat ini pemerintah melalui Kementerian Kesehatan serta BPOM belum meminta pandangan dari industri terhadap rencana revisi tersebut. Dia menyebut revisi tersebut terkesan dijalankan secara diam-diam.
“Pemerintah seharusnya mengajak asosiasi dalam pembahasan revisi PP 109/2012 agar hasil dari kebijakan tersebut memberikan keadilan bagi industri produk tembakau alternatif. Jika tidak juga melibatkan asosiasi, hal ini berpotensi menjadi preseden buruk bagi dunia usaha karena tidak diberikannya kesempatan kepada pelaku usaha untuk menyampaikan pandangannya,” jelas Aryo dalam siaran persnya kemarin.
Di sisi lain, Aryo memberikan apresiasi terhadap keputusan Kementerian Keuangan yang tidak melakukan perubahan beban cukai pada hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL). Keputusan tersebut dinilai bijaksana dan dapat membantu industri produk tembakau alternatif yang baru mulai ini untuk beradaptasi.
“Kami berterima kasih pada pemerintah yang memperhatikan kelangsungan industri baru ini dengan tidak menaikkan beban cukai atau HJE minimum HPTL. Keputusan ini sangat bijaksana dan membantu industri kami, yang baru diatur kurang lebih satu tahun ini, untuk beradaptasi pada ketentuan-ketentuan baru yang dijalankan. Hal ini juga memotivasi kami untuk melakukan evaluasi dan mengembangkan industri baru ini lebih baik lagi,” kata Aryo.
Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia Prof Dr dr Aru Wisaksono Sudoyo, Sp.PD, KHOM, FACP dalam suatu kesempatan menegaskan, langkah perokok tembakau beralih ke vape bukan menekan risiko kesehatan, melainkan justru berkontribusi meningkatkan ancaman kanker. “Dalam vape terdapat nikotin yang merupakan bahan karsinogenik,” kata ujar dr Aru.
Dia membeberkan, vape mengandung berbagai zat berbahaya yang sama dengan rokok. Zat dimaksud antara lain nikotin, zat karsinogenik, dan toksin yang dapat menyebabkan inflamasi. Zat kimia yang terkandung di dalamnya tidak hanya dapat membahayakan paru, tetapi juga dapat menyebabkan gangguan jantung, kardiovaskular, merusak hati, ginjal, hingga menyebabkan penyakit kanker.
Dikutip dari Healthline, cairan aerosol vape mengandung partikel, zat pengoksidasi atau oksidator, aldehida, dan nikotin. Ketika diisap, bahan aerosol ini akan memengaruhi kerja jantung dan pembuluh darah. Rokok elektrik juga meningkatkan tekanan darah. Kedua hal ini menyebabkan gangguan jantung dalam jangka panjang.
India Melarang
India merupakan negara teranyar setelah Brasil dan Thailand yang melarang penjualan vape atas alasan kesehatan. Larangan yang meliputi produksi, impor, dan pengiklanan rokok modern itu berdampak besar terhadap prospek pasar vape di tengah menurunnya jumlah perokok aktif di dunia. Diperkirakan sebanyak 106 juta orang India juga dilaporkan merupakan perokok aktif.
India bukanlah satu-satunya negara yang melarang rokok elektrik mengingat peringatan itu dikeluarkan WHO. Brasil bahkan melarang rokok elektrik sejak 2009 mengingat kurangnya bukti khasiat. Begitu pun dengan Singapura, Thailand, Kamboja, Jepang, China, Amerika Serikat (AS), Meksiko, Inggris, dan Australia. Thailand melarang vape karena dianggap tidak sehat dan mendorong anak muda untuk merokok.
Meksiko juga melarang penjualan, distribusi, dan manufaktur produk berbahan dasar tembakau, tak terkecuali vape. Adapun pemerintah AS tak mengeluarkan peraturan seketat Meksiko. Sejauh ini, Presiden AS Donald Trump hanya melarang vape karena mendorong anak-anak merokok.
Jepang juga menempatkan vape sebagai barang ilegal karena mengandung cairan nikotin. Dengan adanya regulasi tersebut, pemasaran rokok di Jepang terfokus pada heated tobacco products (HTP). Menurut Euromonitor, pasar HTP di Jepang mencapai 90% dari total pasar di seluruh dunia senilai USD5 miliar.
China juga terus meluncurkan kampanye antirokok guna meningkatkan kesehatan masyarakat. Namun, sampai sekarang, larangan itu belum terbentuk dalam undang-undang, terutama Undang-Undang Produksi. China merupakan pasar tunggal konsumsi rokok terbesar di dunia, yakni mencapai 300 juta perokok.
Inggris tidak melarang rokok vape secara penuh. Namun, Inggris membatasi cairan nikotin sekitar 10 miligram per mililiter atau lebih rendah. Pabrik rokok juga dilarang mengklaim produk mereka lebih aman dibandingkan rokok tembakau, meski Public Health England menyatakan vape 95% lebih aman.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy mendukung rekomendasi BPOM. Dia bahkan mengaku sudah menerima banyak komplain sejak menjabat menteri pendidikan dan kebudayaan terkait vape.
Hanya, sejauh ini dia belum menerima rekomendasi BPOM dimaksud. “Mestinya di Kementerian Kesehatan, kemudian di BPOM. Kalau memang dianggap berbahaya untuk kesehatan semestinya dilarang. Tapi, sementara ini karena itu produk impor,” ujarnya.