Thailand Bekukan Stasiun Televisi karena Liputan Demonstrasi
BANGKOK – Pengadilan Thailand memerintahkan pembekuan stasiun televisi online, Voice TV, yang kerap mengkritik pemerintah. Voice TV dituding kerap melaporkan aksi demonstrasi antimonarki yang telah berlangsung selama tiga bulan terakhir.
“Voice TV dinyatakan melanggar Undang-Undang Kejahatan Komputer dengan mengunggah informasi palsu,” kata juru bicara Pemerintah Thailand, Putchapong Nodthaisong, dilansir Reuters. Voice TV menjadi korban kebijakan dekrit darurat yang mewajibkan stasiun televisi dan media untuk tidak menyebarkan informasi terkait demonstrasi antimonarki.
Thailand pun mendapatkan kritikan tajam dari kelompok pemerhati hak asasi manusia (HAM) karena melarang publikasi berita yang berisi informasi merusak citra pemerintah. Bangkok memang berusaha keras untuk mengakhiri demonstrasi antipemerintahan Perdana Menteri (PM) Prayuth Chan-ocha dan kekuasaan kerajaan.
Rittikorn Mahakhachabhorn, pemimpin redaksi Voice TV, mengatakan, mereka akan terus bersiaran hingga surat perintah pengadilan tiba. “Kita bekerja berdasarkan prinsip jurnalistik dan kita akan melanjutkan pekerjaan kita saat ini,” katanya.
Pemerintah Thailand menyatakan, tiga organisasi media tengah dalam penyelidikan karena dinilai melanggar dekrit darurat. Voice TV dimiliki oleh keluarga mantan PM Thaksin Shinawatra dan adiknya, Yingluck, yang digulingkan Prayuth pada kudeta 2014. Baik Thaksin maupun Yingluck telah melarikan diri dari Thailand karena dijerat skandal korupsi.
Gelombang demonstrasi antimonarki dan antipemerintah terus berkembang. Mereka mengabaikan larangan demonstrasi yang ditujukan untuk melawan Perdana Menteri (PM) Prayuth Chan-ocha dan kekuasaan kerajaan.
Demonstrasi itu seperti aksi balas dendam setelah penangkapan puluhan demonstran dan para pemimpin mereka. Polisi pun menggunakan mobil meriam air dan menghentikan layanan sistem kereta api Bangkok.
Lokasi demonstrasi pun kerap berpindah-pindah dari satu titik ke titik lain di lokasi yang berbeda. Lokasi demonstrasi terkini biasanya diumumkan melalui media sosial. “Kita akan bertahan hingga semuanya berakhir atau berpindah ke lokasi lain bersama dengan para aktivis lainnya,” kata Dee, 25, demonstran yang berada di Asok, salah satu pusat kota di Bangkok. Ratusan demonstran lainnya berkumpul di Monumen Kemenangan, sekitar lima kilometer dari Asok.Para demonstran kerap menggunakan bahasa kasar untuk mengungkapkan kekecewaan mereka terhadap monarki. “Apakah rasa menjilat sepatu diktator memang enak?” demikian bunyi poster yang ditampilkan para demonstran. Hal menarik, para demonstran juga mengungkapkan wacana tentang berdirinya “Republik Thailand”.
Polisi Thailand kini tidak terlalu reaktif dan mengintervensi pelaksanaan demonstrasi. “Kita tetap mempertahankan perdamaian dan ketertiban,” kata juru bicara kepolisian Kissana Phathanacharoen. Dia mengatakan, aparat kepolisian tetap memperhatikan hukum, standar internasional, dan hak asasi manusia.
Sementara itu, para demonstran menggunakan bahasa isyarat sebagai langkah koordinasi dengan anggotanya. Itu sebagai langkah agar tidak diketahui oleh polisi. “Banyak orang yang saling membantu satu sama lain,” kata Riam, 19, pengunjuk rasa. Dia mengungkapkan, aksi saling bantu itu dilakukan dengan bahasa isyarat.
Bahasa isyarat dengan jari itu juga pernah dilakukan para demonstran di Hong Kong. Hal itu kini menjadi hal yang lumrah dalam perlawanan melawan kekuasaan. Itu digunakan untuk meminta perlindungan dan bantuan logistik.
“Semua orang yang berpendidikan akan belajar untuk bertahan tanpa para pemimpin,” kata Tangmae, demonstran yang berusia 20 tahun. Dia juga menunjukkan beberapa bahasa isyarat dengan jari. “Kita berkomunikasi sehingga demonstrasi bisa berlangsung dengan tertib,” paparnya.
Para demonstran mengungkapkan, kemenangan Prayuth pada pemilu tahun lalu memang merupakan skenario untuk mengamankan kudeta pada 2014.