Taliban Kembali Langgar Janji, Larang Jurnalis Perempuan Afghanistan Bekerja
KABUL – Washington Post dan Committee to Protect Journalists (CPJ) melaporkan Taliban melarang dua presenter perempuan Afghanistan di Radio Television Afghanistan (RTA) yang dikelola pemerintah untuk datang bekerja. Laporan ini seolah mementahkan komitmen Taliban untuk mengizinkan perempuan dalam kehidupan publik.
Seorang pembawa berita perempuan di RTA, Khadija Amin, datang ke kantornya hendak bekerja. Namun saat sampai di sana ia menemukan seorang pembawa berita pria telah menggantikannya. Seorang pemimpin outlet media tersebut yang berasal dari Taliban menyuruhnya untuk tinggal di rumah selama beberapa hari lagi.
“Ada perubahan dalam program…(dan) tidak ada presenter perempuan atau jurnalis perempuan,” kata Amin, menurut berita independen Tolo News seperti dikutip dari Business Insider, Sabtu (21/8/2021).
Karyawan perempuan lainnya, presenter Shabnam Dawran, mengatakan dia bahkan tidak diizinkan masuk ke gedung.
“Saya tidak diizinkan masuk, meskipun saya membawa lencana ID saya,” kata Dawran dalam sebuah video yang diposting ke media sosial, menurut Washingtin Post.
“Pekerja laki-laki diizinkan, tetapi saya diancam. Mereka mengatakan kepada saya bahwa rezim telah berubah..hidup kami berada di bawah ancaman serius,” imbuhnya.
Jurnalis perempuan Afghanistan telah melaporkan pengambilalihan Taliban atas negara mereka meskipun ada ancaman dari kelompok tersebut.
Selain penyiar perempuan yang tidak mengudara, CNN melaporkan pada hari Senin bahwa Taliban telah mengunjungi rumah-rumah dan melakukan panggilan telepon yang mengancam ke beberapa jurnalis perempuan. Pejuang Taliban juga menyerang dua jurnalis pria yang meliput protes di kota Jalalabad, Afghanistan timur, menurut CPJ.
“Taliban harus membiarkan pembawa berita perempuan kembali bekerja, dan mengizinkan semua jurnalis bekerja dengan aman dan tanpa gangguan,” sambungnya.
Sebuah laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa dari Februari 2021 menemukan bahwa peningkatan korban sipil di Afghanistan telah memasukkan 30 kasus jurnalis dan pekerja media lainnya yang terbunuh sejak 2018, menjadikan negara itu salah satu tempat yang lebih berbahaya di dunia untuk menjadi jurnalis.
Selain para jurnalis yang terbunuh saat bekerja, lusinan jurnalis perempuan, khususnya, telah menghadapi serangan atau meninggalkan negara itu sama sekali pada tahun lalu, menurut laporan Human Rights Watch dari April lalu. Wartawan perempuan di luar kota-kota besar menghadapi risiko tertentu.
Pada Maret 2021, tiga perempuan muda ditembak mati di luar stasiun televisi tempat mereka bekerja di Jalalabad, dengan afiliasi ISIS mengaku bertanggung jawab atas serangan itu. Pembunuhan yang ditargetkan terhadap tiga perempuan itu mengikuti pembunuhan Malalai Maiwand, seorang jurnalis televisi, di luar stasiun yang sama pada Desember 2020.