Sistem UNHCR Libya Kacau Balau, Pencari Suaka Kesulitan
TRIPOLI – Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) Libya kewalahan menangani puluhan ribu pengungsi dan pencari suaka. Mereka bahkan kekurangan dana untuk tetap melanjutkan program kesehatan yang semestinya diterima pengungsi sehingga akses kesehatan tersendat.
“Kehidupan para pengungsi di sini benar-benar sangat sulit. Apa yang dapat kami lakukan juga sangat terbatas,” ujar Juru Bicara (Jubir) UNHCR Libya, Charlie Yaxley. Libya merupakan titik keberangkatan sebagian besar perahu yang berupaya melintasi Laut Mediterania menuju Italia sehingga kondisinya semrawut.
Sebagian pengungsi dan pencari suaka mengaku harus menyogok petugas untuk mempercepat proses klaim suaka di pusat penahanan. Mereka terdesak dan sangat rentan dieksploitasi kelompok milisi. Kondisi buruk di dalam pusat penahanan memaksa UNHCR memprioritaskan mereka untuk segera diproses.
Hal itu mendorong pengungsi dan pencari suaka yang masih berada di luar untuk menyogok para petugas UNHCR. Mantan pegawai menuduh UNHCR terburuk di kawasan Afrika. Banyak pengungsi dan pencari suaka yang terdampar tanpa memiliki tempat tinggal. Mereka kehilangan akses kesehatan dan hukum.
Pencari suaka Asyas yang menderita tuberkulosis (TBC) mengaku dikeluarkan dari rumah sakit oleh mitra UNHCR, International Medical Corps (IMC), dan kini tinggal sendirian di rumahnya di Tripoli. “Saya kini hanya menunggu ajal menjemput,” kata Asyas. Menurut pihak rumah sakit, biaya pengobatan TBC amat mahal.
Pencari suaka menaruh harapan besar kepada UNHCR untuk membantu mereka keluar dari krisis. Satu keluarga asal Sudan, termasuk bayi, tinggal di gudang yang sudah tidak dipakai selama berbulan-bulan di Al-Riyadiya, Tripoli. Mereka lalu diusir dan kini tinggal dan menanti di depan community day ventre UNHCR.
Kondisi itu kian sulit mengingat Libya tidak memiliki payung hukum yang kuat sejak perang berkecamuk pada 2011. Saat ini, Libya dikuasai berbagai kelompok milisi yang berebut kekuasaan dan pasar perdagangan manusia. Mereka bahkan menguasai dan mengoperasikan pusat penahanan secara diam-diam.
Pengungsi dari Somalia, Amina, yang kini tinggal di Triq al-Sikka, Tripolli, mengaku menyogok petugas untuk dapat masuk ke pusat penahanan dan berharap segera dievakuasi. Pengungsi lain juga menyogok petugas di Fasilitas Keberangkatan UNHCR. Mereka rata-rata mengeluarkan uang sebesar 2000 dinar (Rp 6,7 juta).
“UNHCR akan menindak tegas orang-orang yang melakukan kesalahan fatal. Setiap tuduhan yang sudah kami selidiki dan dapat dibuktikan, pelakunya tidak akan kami toleransi,” ujar Yaxley. “Kami sangat mendorong seluruh korban untuk menghungi kami langsung atau menuju Kantor Inspektur Jenderal,” tambahnya.