Sepanjang 2021 Ada 188 Aduan Kasus Perbudakan pada ABK WNI
Jakarta – Sepanjang 2021, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menerima 188 aduan kasus perbudakan terhadap ABK WNI (anak buah kapal) yang bekerja di kapal ikan berbendera asing. SBMI, Human Rights Working Group (HRWG) dan Greenpeace Indonesia menilai Presiden RI Joko Widodo memiliki tanggung jawab untuk menghentikan praktik eksploitasi ini.
Dengan adanya penambahan 188 kasus ini, maka terhitung total kasus ABK yang ditangani oleh SBMI sejak 2013 sebanyak 634 kasus. Dari 188 kasus baru tersebut, 98 diantaranya berasal dari Jawa Tengah, 43 dari Jawa Barat, dan selebihnya dari berbagai provinsi lain di Indonesia.
“Upaya advokasi yang dilakukan SBMI terkait kasus yang dialami ABK Indonesia di kapal asing, sering kali terkendala oleh adanya tumpang tindih kewenangan dan belum adanya Peraturan Pemerintah tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga dan Awak Kapal Perikanan sebagai aturan turunan UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang PPMI,” kata Ketua Umum SBMI, Hariyanto Suwarno, pada diskusi bertema ‘ABK Tereksploitasi, Presiden Melanggar HAM?’, Senin, 28 Maret 2022.
Menurut Hariyanto, carut-marut tata kelola penempatan ABK Perikanan, kebijakan yang belum berpihak terhadap ABK Perikanan, penindakan hukum yang lemah dan pengawasan yang minim menjadi penyebab praktik-praktik yang melanggar HAM ABK masih terus terjadi. Ironisnya, upaya yang dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan yang dialami ABK dari tahun ke tahun tidak menunjukkan sinyal perbaikan.
Dalam sebuah kajian berjudul ‘Kajian Pelanggaran HAM terhadap ABK di Asia Tenggara: Pembiaran Perbudakan Modern’ yang diterbitkan Maret 2022, HRWG salah satunya menggarisbawahi kekosongan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan (RPP) ABK Indonesia yang seharusnya sudah keluar selambat-lambatnya pada 2019, atau dua tahun sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI).
Sementara itu, HRWG menilai praktik eksploitasi terhadap ABK asal Indonesia serta beberapa negara lain di Asia Tenggara, adalah bagian dari kejahatan terorganisir transnasional mengingat aktivitas industri perikanan global ini melibatkan banyak negara di dunia. Tak hanya pada ABK, eksploitasi juga dilakukan terhadap sumber daya tangkapan laut.
Stok ikan di beberapa daerah perairan menurun drastis akibat penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, salah urus penerbitan izin penangkapan yang tidak sesuai dengan kapasitas sumber daya, dan banyaknya kapal penangkap ikan yang telah melebihi kuota, dan melakukan kegiatan penangkapan ikan ilegal.
Peristiwa tersebut mengindikasi terjadinya penangkapan ikan berlebih atau overfishing. Sayang, untuk menekan harga produk agar tetap kompetitif, para pemilik kapal memperkerjakan para tenaga kerja berupah rendah.
Hal ini menempatkan para nelayan pada posisi rentan akan masalah keselamatan kerja saat bekerja di kapal-kapal tersebut. Inilah yang mendorong terjadinya kejahatan lintas batas negara, mengingat eksploitasi dan perampasan hak terhadap ABK migran kerap terjadi di laut lepas, ZEE dan di laut-laut perbatasan.