Semakin Banyak Diplomat Korea Utara yang Membelot ke Korea Selatan
Seorang diplomat Korea Utara yang bekerja di Kedutaan Korea Utara di Kuba membelot ke Korea Selatan pada November silam, kata badan intelijen Korsel kepada BBC pada Selasa (16/7/2024).
Rincian mengenai pembelotan warga Korut sering kali membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk terungkap karena para pembelot harus mengikuti kursus tentang masyarakat Korsel sebelum mereka berintegrasi secara formal.
Laporan media Korsel menyebut bahwa diplomat yang membelot tersebut adalah konselor yang bertanggung jawab atas urusan politik di Kedutaan Korea Utara di Kuba. Badan intelijen Nasional (NIS) Korea Selatan belum memberikan konfirmasi tentang hal ini kepada BBC.
Surat kabar Chosun Ilbo mengeklaim, pihaknya berhasil mewawancarai diplomat tersebut, yang diidentifikasi sebagai Ri Il-gyu berusia 52 tahun. Menurut Kementerian Unifikasi Korea Selatan, sekitar sepuluh warga elite Korea Utara—termasuk diplomat, ekspatriat, dan pelajar—membelot tahun lalu. Angka ini merupakan jumlah tertinggi sejak 2017.
Diplomat Korea Utara secara tradisional dipandang seebagai anggota elite Pyongyang sehingga pembelotan mereka menimbulkan pertanyaan tentang stabilitas dan keberlanjutan korps diplomatik rezim tersebut.
Kedutaan Korut ditutup
Selain pembelotan baru-baru ini, tahun lalu Korea Utara juga menutup beberapa misi diplomatiknya. Pada Februari lalu, Korea Utara memiliki 44 misi diplomatik di luar negeri, terdiri dari 39 kedutaan besar, dua konsulat jenderal, dan tiga misi perwakilan.
Padahal, Korut punya 53 misi pada 2022. Kantor perwakilan yang ditutup mencakup Nepal, Spanyol, Angola, Uganda, Hong Kong, dan Libya.
Kementerian Unifikasi Korea Selatan mengaitkan penutupan tersebut dengan kesulitan yang disebabkan oleh sanksi internasional terhadap Korea Utara.
Para pakar juga memandang tren ini sebagai upaya restrukturisasi pragmatis yang dilakukan negara.
“Misi yang ditutup baru-baru ini didirikan pada 1960-an dan 1970-an ketika Korea Utara dan Selatan bersaing untuk mendapatkan suara di PBB,” jelas Nam Sung-wook, direktur Institut Unifikasi dan Konvergensi Nasional di Universitas Korea kepada BBC.
“Tapi hal itu tak lagi terjadi sekarang, Korea Utara mengalihkan upaya diplomatiknya ke negara-negara yang mempunyai sikap anti-AS, (tempat) di mana mereka bisa menghasilkan uang dan menghindari sanksi PBB.” Nam mengatakan, para diplomat Korea Utara harus mendanai setengah dari biaya operasi operasional mereka secara mandiri, namun sanksi PBB telah mempersulit mereka untuk mendapatkan mata uang asing sehingga
“mendorong peningkatan tekanan dari Pyongyang dan pembelotan berikutnya”. Kesulitan ekonomi yang dihadapi para diplomat Korea Utara telah terdokumentasi dengan baik dalam kesaksian orang-orang yang membelot ke Korea Selatan.
Dalam sebuah wawancara dengan surat kabar Chosun Ilbo, pembelot Ri Il-gyu dengan tegas menggambarkan mereka yang bekerja di Kementerian Luar Negeri Korea Utara sebagai “pengemis yang terkekang”. Metafora ini menggarisbawahi kesenjangan yang mencolok antara status sosial diplomat yang tinggi dan kompensasi yang kecil.
Takut akan hukuman
Di tengah tantangan keuangan ini, tanggung jawab diplomat semakin meningkat.
Kwak Gil-sup, ketua One Korea Center yang sebelumnya menjabat sebagai analis Korea Utara di NIS, mengatakan, para diplomat menjadi sasaran pengawasan dan pemeriksaan disiplin yang semakin ketat karena “advokasi Kim Jong-un untuk kebijakan dua Korea”.
“Para diplomat sekarang mereka terancam dan lebih khawatir terhadap masa depan keluarga mereka,” ujarnya.
Terjalinnya hubungan diplomatik antara Kuba dan Korea Selatan awal tahun ini—yang pertama dalam 65 tahun—mungkin juga menambah tekanan terhadap diplomat Korea Utara yang ditempatkan di Kuba.
Sebelum perjanjian hubungan diplomatik antara Kuba dan Korea Selatan ditandatangani, Kuba telah lama memihak Pyongyang sebagai salah satu sekutu tertuanya.
Thae Yong-ho, Wakil Duta Besar Korea Utara untuk Inggris yang membelot pada 2016, mengungkapkan di Facebook bahwa dia adalah rekan dekat Ri Il-gyu.
Dalam unggahan Faceboook, Thae menulis, “Tugas besar terakhir (Ri) adalah mencegah hubungan diplomatik Kuba-Korea Selatan.”
“Dia mencoba untuk menegakkan instruksi Pyongyang, tapi dia mengatakan, dia tak memiliki peluang karena kecenderungan Kuba yang semakin dekat dengan Korea Selatan.”
Ada sejumlah laporan mengenai dampak buruk terhadap diplomat yang terlibat dalam kegagalan KTT AS-Korea Utara pada 2019, termasuk deportasi dan eksekusi.
Implikasi dari pembelotan diplomatik
Pembelotan diplomat Korea Utara telah terjadi sejak 1990-an. Jumlah sebenarnya kemungkinan besar lebih tinggi dari yang dilaporkan.
Kwak Gil-sup, ketua One Korea Center yang sebelumnya menjabat sebagai analis Korea Utara di NIS, berpendapat bahwa para pembelot awal, seperti Ko Young-hwan (mantan sekretaris pertama Kedutaan Korea Utara di Kongo yang melarikan diri ke Korea Selatan pada 1991) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap diplomat-diplomat berikutnya.
“Jika Anda seorang diplomat Korea Utara, kemungkinan besar Anda pernah melihatnya (kasus Thae),” ujar Kwak.
“Dia menunjukkan bahwa meskipun dia membelot, dia masih aktif di Korea Selatan dan menjadi seorang anggota parlemen terpilih dan anggota dewan tertinggi partai yang berkuasa.”
Bagi diplomat Korea Utara, yang sudah ditempatkan di luar negeri, peluang untuk membelot biasanya dipandang lebih besar dibanding warga negara biasa. Namun, seperti warga lainnya, mereka masih menghadapi tantangan karena tak dapat menjamin keselamatan keluarga mereka di Korea Utara.
Rincian mengenai pembelotan warga Korut sering kali membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk terungkap karena para pembelot harus mengikuti kursus tentang masyarakat Korsel sebelum mereka berintegrasi secara formal.
Laporan media Korsel menyebut bahwa diplomat yang membelot tersebut adalah konselor yang bertanggung jawab atas urusan politik di Kedutaan Korea Utara di Kuba. Badan intelijen Nasional (NIS) Korea Selatan belum memberikan konfirmasi tentang hal ini kepada BBC.
Surat kabar Chosun Ilbo mengeklaim, pihaknya berhasil mewawancarai diplomat tersebut, yang diidentifikasi sebagai Ri Il-gyu berusia 52 tahun. Menurut Kementerian Unifikasi Korea Selatan, sekitar sepuluh warga elite Korea Utara—termasuk diplomat, ekspatriat, dan pelajar—membelot tahun lalu. Angka ini merupakan jumlah tertinggi sejak 2017.
Diplomat Korea Utara secara tradisional dipandang seebagai anggota elite Pyongyang sehingga pembelotan mereka menimbulkan pertanyaan tentang stabilitas dan keberlanjutan korps diplomatik rezim tersebut.
Kedutaan Korut ditutup
Selain pembelotan baru-baru ini, tahun lalu Korea Utara juga menutup beberapa misi diplomatiknya. Pada Februari lalu, Korea Utara memiliki 44 misi diplomatik di luar negeri, terdiri dari 39 kedutaan besar, dua konsulat jenderal, dan tiga misi perwakilan.
Padahal, Korut punya 53 misi pada 2022. Kantor perwakilan yang ditutup mencakup Nepal, Spanyol, Angola, Uganda, Hong Kong, dan Libya.
Kementerian Unifikasi Korea Selatan mengaitkan penutupan tersebut dengan kesulitan yang disebabkan oleh sanksi internasional terhadap Korea Utara.
Para pakar juga memandang tren ini sebagai upaya restrukturisasi pragmatis yang dilakukan negara.
“Misi yang ditutup baru-baru ini didirikan pada 1960-an dan 1970-an ketika Korea Utara dan Selatan bersaing untuk mendapatkan suara di PBB,” jelas Nam Sung-wook, direktur Institut Unifikasi dan Konvergensi Nasional di Universitas Korea kepada BBC.
“Tapi hal itu tak lagi terjadi sekarang, Korea Utara mengalihkan upaya diplomatiknya ke negara-negara yang mempunyai sikap anti-AS, (tempat) di mana mereka bisa menghasilkan uang dan menghindari sanksi PBB.” Nam mengatakan, para diplomat Korea Utara harus mendanai setengah dari biaya operasi operasional mereka secara mandiri, namun sanksi PBB telah mempersulit mereka untuk mendapatkan mata uang asing sehingga
“mendorong peningkatan tekanan dari Pyongyang dan pembelotan berikutnya”. Kesulitan ekonomi yang dihadapi para diplomat Korea Utara telah terdokumentasi dengan baik dalam kesaksian orang-orang yang membelot ke Korea Selatan.
Dalam sebuah wawancara dengan surat kabar Chosun Ilbo, pembelot Ri Il-gyu dengan tegas menggambarkan mereka yang bekerja di Kementerian Luar Negeri Korea Utara sebagai “pengemis yang terkekang”. Metafora ini menggarisbawahi kesenjangan yang mencolok antara status sosial diplomat yang tinggi dan kompensasi yang kecil.
Takut akan hukuman
Di tengah tantangan keuangan ini, tanggung jawab diplomat semakin meningkat.
Kwak Gil-sup, ketua One Korea Center yang sebelumnya menjabat sebagai analis Korea Utara di NIS, mengatakan, para diplomat menjadi sasaran pengawasan dan pemeriksaan disiplin yang semakin ketat karena “advokasi Kim Jong-un untuk kebijakan dua Korea”.
“Para diplomat sekarang mereka terancam dan lebih khawatir terhadap masa depan keluarga mereka,” ujarnya.
Terjalinnya hubungan diplomatik antara Kuba dan Korea Selatan awal tahun ini—yang pertama dalam 65 tahun—mungkin juga menambah tekanan terhadap diplomat Korea Utara yang ditempatkan di Kuba.
Sebelum perjanjian hubungan diplomatik antara Kuba dan Korea Selatan ditandatangani, Kuba telah lama memihak Pyongyang sebagai salah satu sekutu tertuanya.
Thae Yong-ho, Wakil Duta Besar Korea Utara untuk Inggris yang membelot pada 2016, mengungkapkan di Facebook bahwa dia adalah rekan dekat Ri Il-gyu.
Dalam unggahan Faceboook, Thae menulis, “Tugas besar terakhir (Ri) adalah mencegah hubungan diplomatik Kuba-Korea Selatan.”
“Dia mencoba untuk menegakkan instruksi Pyongyang, tapi dia mengatakan, dia tak memiliki peluang karena kecenderungan Kuba yang semakin dekat dengan Korea Selatan.”
Ada sejumlah laporan mengenai dampak buruk terhadap diplomat yang terlibat dalam kegagalan KTT AS-Korea Utara pada 2019, termasuk deportasi dan eksekusi.
Implikasi dari pembelotan diplomatik
Pembelotan diplomat Korea Utara telah terjadi sejak 1990-an. Jumlah sebenarnya kemungkinan besar lebih tinggi dari yang dilaporkan.
Kwak Gil-sup, ketua One Korea Center yang sebelumnya menjabat sebagai analis Korea Utara di NIS, berpendapat bahwa para pembelot awal, seperti Ko Young-hwan (mantan sekretaris pertama Kedutaan Korea Utara di Kongo yang melarikan diri ke Korea Selatan pada 1991) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap diplomat-diplomat berikutnya.
“Jika Anda seorang diplomat Korea Utara, kemungkinan besar Anda pernah melihatnya (kasus Thae),” ujar Kwak.
“Dia menunjukkan bahwa meskipun dia membelot, dia masih aktif di Korea Selatan dan menjadi seorang anggota parlemen terpilih dan anggota dewan tertinggi partai yang berkuasa.”
Bagi diplomat Korea Utara, yang sudah ditempatkan di luar negeri, peluang untuk membelot biasanya dipandang lebih besar dibanding warga negara biasa. Namun, seperti warga lainnya, mereka masih menghadapi tantangan karena tak dapat menjamin keselamatan keluarga mereka di Korea Utara.